Sepatu Kaca
Marni tergeletak tak berdaya, tubuhnya bagai membatu, selang infuse, oxygen dan pembuangan air seni nampak bergelayut di tubuhnya.
Di sebelah ranjangnya, Handoko sibuk memencet handphone.
“aku sudah menghubungi orang tuanya tapi belum ada kabar hingga hari ini”, dipencetnya tombol kirim.
Handoko membisu, Bip bunyi sms membangunkan lamunannya, “Aku akan ke Jogja, mereka harus tahu, ini penting, hidupnya dalam bahaya, mereka harus disampingnya”.
Dibiarkan sms itu tak terbalas, tubuhnya bangkit, dihampiri sosok membatu di ranjang, “Mar, bangun!” namun tak ada jawaban.
Sosok moksa dalam cerita, Marni tersenyum lega, bayangan kedua yang ditemuinya siang ini seindah sebelumnya, riang sang Cinderella pun seriang seharusnya. Marni sosok mungil yang jatuh cinta dengan cerita Cinderella yang dilihatnya di TV dan kalau semangat menjadi Cinderella akhirnya membawanya menjadi sang pembangkang, Marni merasa hanya ilham.
————
Koridor ruang ICU rumah sakit itu nampak lengang, hanya sesekali suster berjalan tergesa seolah dikejar sang empunya waktu. Handoko melangkah keluar nafasnya sudah sesak, ruang ICU tidak memberikannya udara yang sehat untuk berfikir, berbagai macam bunyi mesin pendeteksi kehidupan membuatnya seolah berada di dunia ke dua, baru sepuluh menit, belum ada separuh dari waktu yang diberikan dokter untuknya dihabiskan.
Pria berwajah tampan itu bergerak menuju beranda, tepat dibelakang bangunan ICU, bip, benda kecil itu kembali bersuara,
“aku akan kesana sebelum ke Jogja jangan pergi dulu”.
————
“Inah, sudah siap semuanya?”
“Mas ini ributnya kok lebih lama dari perginya, memang perlu bawa apa lagi?”, ejekan lucu inah tak di gubrisnya
“Aku kan belum tahu berapa lama, lebih baik siap-siap”
“Iya tapi kan mas laki-laki, tidak perlu repot”
Laki-laki itu menatap Inah, resiko memiliki pembantu yang sudah sangat dekat dengan dirinya, sejak ia kecil Inah yang merawat dan mengurusnya, kini Inah seperti ibu kedua baginya, kecuali ia tetap memanggilnya Inah.
“Kenapa sekarang kamu tambah cerewet ya Nah?, aku harus pergi, ini urusan nyawa Nah”
“Iya tuan besar”, Inah menepuk pundak pemuda itu sambil berlalu. Pemuda itu hanya tersenyum.
————
Masih dengan bayangan kedua, Marni duduk manis dipangkuannya, gaun indah yang dikenakannya, membuatnya merasa seperti ratu. “kau memang ratu ku” , bayangan itu membuatnya melayang. Aku Cinderella, tak banyak kata terucap, raga yang bicara, dan keduanya terlelap didalamnya.
————
“Aku harus ke Jakarta pak”
“Kau yakin dia tidak berbohong?”
“Bisa-bisanya kau tuduh orang berbohong soal nyawa, aku harus kesana, aku ibunya , bagaimanapun juga dia anakku!!”, wanita separuh baya itu menatap tajam lelaki didepannya.
“Anak yang kau lahirkan dan akhirnya meninggalkanmu?, anak itu yang kau maksud Bu?”.
“Dia meninggalkanku karena mu, jangan lupa itu!”, Wanita itu beranjak masuk kedalam rumah, dengan kemarahan yang ditahannya.
Beranda itu kembali lengang, Sastro kembali bergumul dengan Koran paginya, tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi, pikirannya sudah bulat, perang masih berlangsung.
“Terserah kau ikut atau tidak, mungkin lebih baik tidak, tapi yang pasti aku akan bersamanya!”, suara wanita itu kembali menggema.
Sastro tersenyum, “selamat berjuang!”, timpalnya kemudian.
————
Selasa wage 17 maret 2005, Raka berjalan tergesa di koridor ICU, matanya mencari sosok. “Kau sudah menemuinya?”, katanya kemudian saat mendapati Handoko di beranda belakang ICU.
“Sudah, belum ada perkembangan, dia masih belum sadar”.
“Dia ada di alam khayal, dia sedang berjuang”, kata Raka kemudian.
Handoko menatap tajam lelaki berwajah tirus didepannya,
“Kau, kalau bukan karena khayalan negeri dongenmu, dia tidak akan pergi, kini dia entah dimana, tapi kau masih saja memberikan dunia khayalmu!”, sorot kebencian itu jelas terlihat dimata Handoko.
“Sudahlah, kesampingkan urusan pribadimu, dia lebih penting!”
Raka menyadari Handoko masih menatapnya tajam.
“Kau pikir apa yang membuatku berada disini! hah? Sementara kau, kemana saja?, oya kau sibuk mengurus keberangkatan ke jogja, buat siapa Raka, kau atau Marni?”
Hondoko panas, ditinggalkannya Raka yang diam terpaku menatapnya.
“Ko, semua untuk dia kan?, setelah dia bangun baru kita bicara lagi, jangan keras kepala!”
Handoko menghentikan langkahnya, teriakan Raka menusuk kupingnya, tanpa menoleh kebelakang bibirnya menjawab, “Aku tidak keras kepala, setidaknya tidak sekeras kepala mu! Liat akibat batu yang ada dikepalamu, dia sekarat”.
Pintu ICU nampak rapat tertutup, barisan jendela kaca membuat orang bisa mengintip pasien didalam, Raka memanggil seorang suster dan berbicara sebentar dengannya, keduanya kemudian melangkah menuju kamar itu.
Marni masih terlelap, bibirnya masih membisu dalam beku, namun tidak hatinya. Raka hanya mampu menatap, ada angkuh dihatinya yang membuatnya enggan mendekat.
“Aku pergi, dan sebaiknya kau bangun saat aku kembali”, bisiknya kemudian.
Jauh dihati Raka ada gelisah , “Aku sakit Mar, seperti kau, ini tidak adil”, hanya suara hati yang menguatkan langkahnya.
————
Sosok kuat bagai sang Rama, si empunya dan dapat segalanya, seolah Sinta pun adalah hadiah untuknya, namun selalu ada perang dihatinya, Rahwana tidak pernah membiarkan hatinya terlena.
————
Jeep itu bergerak perlahan, tepat di sebuah tikungan, sebuah sedan biru melaju, Handoko tergagap, dihentikannya jeep tua itu.
“Sudah tidak punya mata yah?!” teriaknya,
Pintu sedan biru itu terbuka, seorang gadis keluar, cantik, matanya tajam, rambut panjangnya tergerai hitam. Hati handoko bergumam sialan boleh juga. Namun bibirnya masih sok merengut garang.
“Maaf aku tergesa, kau tidak apa-apa?”gadis itu membuka bibir kecilnya, logat bicaranya sangat halus rasanya tidak cocok di dengar di Jakarta, kini ia berdiri didepan Handoko, gadis itu nampak semakin cantik.
“aku tidak apa-apa, hanya jantung mau copot, kau harus hati-hati lain kali”, timpalnya kemudian masih dengan sikap sok garangnya.
“Aku Marni, aku harus pergi sekarang, sekali lagi maaf dan terima kasih”, gadis itu menghampirinya dan menjabat tangan Handoko, diselipkannya kartu nama ditangan Handoko, bibirnya tersenyum manis.
Sesaat kemudian Handoko tersadar, gadis itu sudah melaju, sedan biru itu membawanya pergi.
————
“Jam berapa pulang? Aku tidak mendengarmu masuk, bagaimana keadaannya?”, Si mungil dengan rambut cepak itu menghampiri Handoko.
Lelaki itu rebah diranjangnya, matanya tertutup namun tidak pikirannya.
Sesaat kemudian dibukanya matanya, “sudah berapa kali aku bilang, ketuk pintu sebelum masuk, bagaimana kalau aku telanjang?”.
Si gadis hanya tersenyum, “kalau kamu telanjang yah aku keluar lagi, tak akan kubiarkan mataku rusak karenanya”.
Handoko mencoba bangkit, kepalan tangannya siap memberikan pukulan kecil, namun gadis mungil itu meraihnya dan gigitan kecil mendarat di jemari handoko, keduanya tergelak.
“Bagaimana mba Mar?”, Ranti adik semata wayang Handoko, abg yang selalu memberikan ceria di hari-hari Handoko.
“Masih belum ada perkembangan, apa kabarmu hari ini cerewet?”.
Diraihnya pundak Ranti dan dilingkarkan tangannya seperti hendak mencekik. Ranti berlagak sesak nafas.
“Aku baik, tadi baru aku habisi dua anak lelaki di kelas, sepertinya ada yang mau jadi korban lagi ne”, Handoko tergelak, “coba saja kalau bisa”.
“Hei badak, aku serius, bagaimana dia, ratu mu itu?, masih bernafaskan?”.
“Kau ini, hati-hati bicara”.
Ranti merengut, “Aku belajar dari seseorang, jadi anda tidak perlu protes”, jawabnya singkap, tubuhnya beringsut menjauh.
“Raka ada disana?”, tanyanya kemudian, “mas, kalau waktu itu mas tidak menahanku, sudah mampus itu raka! mas sih lembek”.
“Hush, jangan sok jagoan, ini urusan lelaki”.
“Yah, lelaki, mana hasilnya, ratu yang diperebutkan malah terkapar tak berdaya, tanpa hasil, mba Marni juga sih plin plan mau yang mana sih dia, yah, kalau aku sih pilih Brad Pitt, ups gga ada yah dipilihan, hahaha, maaf, bingung aku”, Gadis itu nyerocos lugu.
“Ran, Marni tidak pernah menginginkan siapa-siapa, dia hanya mencari sosok pangeran dalam mimpinya, dan dia tidak akan pernah mendapatkannya”, desah Handoko.
“Sejak kapan mas jadi kayak Raka, bukannya mas benci cerita itu?”
“Aku benci cerita itu, bukan berarti aku tidak menerimanya… Ranti, Marni memang sakit, jiwanya, hidupnya hanya untuk sosok pangeran dalam mimpinya, aku menyadari itu, dia memang masih terlelap pada saat dia bangunpun dia tetap terlelap, terlelap dalam sosok khayalnya”.
“Namanya sakit apa?”
“Itu yang aku harus cari tahu, aku harus menyelesaikan semua, sebelum Raka mengetahui analisaku”.
“Mas masih bersaing, sudahlah, lakukan semua untuk mba Marni, nanti juga dia mengetahui siapa sebenarnya pangeran impiannya itu, setuju?”
“Sejak kapan kamu jadi sok dewasa, sudah aku harus istirahat, ups, kau bisa bangunkan aku sejam lagi, aku harus bertemu dokter Matias”.
“Oke bos”, Jawab Ranti kemudian.
“Thanks, you the best!” balas Handoko kemudian.
————
Lengkung rembulan, mempercantik malam itu. Marni masih duduk manja dipangkuan sang pangeran, bibirnya genit terbuka bagai artis masa kini di televisi yang suka dilihatnya, sedikit membuka, bolehkan?! mungkin begitu slogannya. Tangan lembutnya merengkuh manja pinggang sang pangeran.
Hari ini Marni lega, dia kini percaya bahwa semua bukan hanya cerita, sekian perjalanan yang ia tempuh, sampai juga pada cerita negeri dongengnya. Perjalanan itu berat tapi begitu berarti, perkenalan dengan dua sosok lelaki dan menyuguhkan perang batin baginya.
Dunia tidak sebatas mencari lelaki, tapi proyek pencarian sang pangeran tidak pernah berhenti, hingga detik ini, sosok kedua yang ditemuinya, begitu sempurna dalam rasa, yah karena Marni tak mampu melihat wajah pangerannya, hanya rengkuhan kelembutan dan hembusan nafas yang seolah merasuki sukmanya, membuatnya hidup. Negeri dongeng yang menjadi penyulut seluruh kebencian dan perang yang tercipta, tidak menyurutkan hatinya, tidak membuatnya menyerah, egonya masih bicara.
———-
Siang itu mentari terik menyusup seluruh lekuk tubuh Marni, siang yang memaksanya meninggalkan apartement dan melaju ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya, pertengkaran dengan Raka membuatnya kalap dan tak mampu berfikir lagi, hingga melupakan tugas pentingnya sore itu, janji yang telah dibuatnya sepekan yang lalu. Penilitian proyek tanah sengketa di daerah Tanah Abang, menjadi menu hariannya sejak awal bulan ini, dan suatu titik terang dia dapat dari informan yang tiba-tiba menelephon dan memberikan diri membuka semua rahasia tanah seharga milyaran rupiah itu.
Jam sudah menunjuk pukul satu siang tapi Marni masih terjebak macet, satu kesempatan langka yang mungkin sudah ia lewatkan, tiba-tiba ada penyesalan, hatinya masih kacau tapi dia tidak bisa membiarkan kesempatan ini berlalu, informan yang mungkin tidak dapat ia temukan lagi, setelah satu minggu penantian dan analisa yang dia pikirkan, bukti-bukti baru tidak ada yang mampu membantunya membebaskan tanah itu, dan profesinya menjadi taruhannya.
Sekian tahun kelembutan wajah dan perawakannya tidak menyurutkan namanya, wanita yang meluluhkan ketidak adilan, mungkin begitu kutipan sebuah majalah profesi yang meliput kisah hidupnya. Namun hati Marni tidak sekeras hasil kerjanya, jiwa nya terlalu lembut ketika dihadapkan pada sosok lelaki, sang yang dia anggap pangerannya. Kadang dirinya sendiri sulit mempercayai bagaimana mungkin impian masa kecilnya terus membuntuti dan menjadi obsesi sampai kini, saat teman-temannya sudah menggandeng anak-anak mereka, Marni masih terpaku dengan dirinya dan setumpuk kertas di meja kerjanya.
Siang itu, lalu lintas bukan sahabat, Marni menghela nafas, lembaran-lembaran berkas berserakan di jok belakang, lampu hijau baru menyala, Marni tersentak segera di pijaknya gas dan melaju memotong panas Jakarta, sedan birunya memasuki kawasan Tanah Abang, sudah 40 menit dia terlambat namun masih disimpannya harapan, dia tak bisa menelpon sang informan karena tidak ada jejak, namun dia tidak ambil pusing dari mana lelaki itu mendapatnya nomornya, dia seorang pengacara yang cukup dikenal.
Mobil itu masih melaju kencang, Marni tidak sabar segera menguak semua kebusukan dibalik tanah yang kini sudah menelantarkan ratusan penduduk yang tinggal diatas nya, tidak bisa diperdebatkan, sang kaya memiliki bukti bahwa tanah itu miliknya namun orang-orang itu telah hidup berpuluh tahun diatasnya, mereka merasa itu miliknya, semua tidak selesai sampai disitu saat pihak lain juga mengklaim milyaran uang itu juga miliknya, suasana semakin keruh, mungkin bukan berita besar karena peristiwa semacam itu sering terjadi di jakarta, di lahan-lahan kumuh yang kemudian menjadi hak milik seorang empunya, namun untuk Marni, ini adalah perkara harga diri, egonya dan perasaannya atas Raka, lelaki yang mengisi hidupnya dan di pujanya sebagai pangeran itu.
Jantung Marni berdetak keras, kepalanya hampir menghantap stang kemudi saat sebuah jeep muncul perlahan dari sebuah tikungan, segera dibantingnya kemudi ke kanan, untung masih terkejar, diinjaknya rem, sejenak mengatur nafas.
Marni memutuskan diri untuk minta maaf, setidaknya ada kebajikan yang bisa membahagiakan hatinya setelah hari yang melelahkan.
Laki-laki itu masih terduduk di jeeb buntutnya wajahnya mengejang marah, sedetik kemudian dia berdiri, sejenak Marni merasa darahnya mengalir aneh, mungkin berlawanan arah dari seharusnya, namun bibirnya harus bicara, otaknya memaksa untuk membuka bibir mungilnya tapi darah disekitar bibirnya membeku, diambilnya nafas panjang mencoba mengalirkan kembali darahnya, dan menit-menit kemudian berlalu, kata maaf sudah di lemparkan, kakinya melangkah meninggalkan lelaki yang masih menatapnya dengan muka garang, sebuah kartu nama ia selipkan.
Siang itu belum berakhir, ia kembali melaju menyusuri daerah yang kini dikenalnya, sebuah tempat yang pernah dilihatnya di foto-foto barang bukti yang diberikan seorang wartawan koran ibu kota, tak salah lagi pikir Marni, matanya mencari sebuah gubuk dengan penjual kopi seperti yang diterangkan lelaki informan itu dalam telephonnya. Diujung blok yang bukan lagi blok, hanya hamparan tanah dengan sisa-sisa bangunan berserakan, asap masih mengepul di sebagian sisa-sisa bangunan itu, kebakaran yang disengaja oleh pihak pemilik pertama memaksa penduduk tanah ini meninggalkan rumah dan harta miliknya, sebuah gubuk masih berdiri, bangunan itu terbuat dari triplek dengan meja panjang dan atap seadanya, kursi-kursi, tidak ada yang istimewa kecuali keberadaannya di tengah tanah yang sudah tidak berpenghuni ini.
Seorang ibu tua mempersilahkannya duduk setelah tahu maksud kedatangannya mencari lelaki dengan ciri yang didapatkanya dari telephon, setelah sekian menit tak berhasil mendapatkan jawaban nama dari line seberang.
Marni duduk sejenak, pegal juga kaki ini, terik siang itu menyapu debu dan sisa-sisa abu membuatnya mengenakan kacamata hitamnya, satu hal yang tidak begitu disukainya.
Beberapa menit menunggu, ibu pemilik warung muncul, bibirnya tersenyum,
“Tadi mas Doko sudah disini lama, kemudian pergi, dan bilang kalau ada yang datang suruh nunggu dulu, jadi mba toh yang ditunggunya”, Perempuan itu berkata polos dengan logat Jawa yang medok.
Marni hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Jadi Doko namanya, mungkin bisa jadi Handoko, atau Dokono pikirannya menerka kemudian dia tersenyum kegelian setelah sadar ada hal lain yang dipikirkannya, bayangan lelaki di jeep tua itu masih melekat, sangat berbeda dengan sosok Raka, lelaki itu hanya berpakaian seadanya, nampak lusuh tapi bersahaja, kaos oblong dan jean belel, namun sorot matanya sangat tajam.
Tiga puluh menit berlalu, Marni kegerahan, dua gelas es teh tidak membuatnya tenang, matanya terus menatap jam tangan, tapi si Doko belum juga datang.
“Mas Doko mungkin ke rumah sakit mba, jadi lama, tadi dia juga sudah menunggu lama kok, jadi mba harus sabar, kalo tidak ketemu rugi”.
Ibu penjual kopi itu kembali bersuara mengagetkan dan membuyarkan lamunan Marni akan sosok lelaki liar.
“Maaf, ibu bilang rumah sakit, memang siapa yang sakit bu?”.
Perempuan itu menatap Marni, sejenak dia terdiam matanya penuh selidik menatap Marni, yang ditatap jadi keki, Marni kemudian mengoreksi pertanyaannya berusaha menormalkan kembali suasana.
“Maaf bukannya lancang, tapi saya ingin tahu”.
Rupanya semua tidak membaik malah sebaiknya wanita penjual kopi itu membuka mulutnya, ketus dia menjawab.
“Bukannya mba juga tidak tahu mas Doko, jadi tidak perlu tahu siapa yang mas Doko perhatikan”. Marni tersentak, kata-kata lugu yang keluar dari bibir wanita separuh baya itu mengandung kecemburuan, kata-katanya keluar dengan kebencian.
Marni menghela nafas, ia mencoba tetap tenang dan tersenyum,
“Maaf, sebaiknya saya menunggu di mobil saja”, katanya kemudian.
Wanita itu kembali menatapnya, “heran kenapa Doko ngundang ibu pejabat”, gumamnya kemudian.
Marni hanya mampu menghela nafas, setelah minta diri dan membayar minumnya, ia menuju mobil yang ia parkir lumayan jauh dari warung itu.
Marni tersenyum ibu pejabat, ide ibu warung kopi nakal juga pikirnya, padahal gga ada potongan pejabat sama sekali, dia pun tergelak sendiri, dihidupkannya radio, berita siang itu masih sama sekitar ulasan ulang korban Tsunami Aceh dan paska gempa Nias, Indonesia sedang di cobai, begitu berat cobaan yang harus dipikul rakyat Aceh dan Nias, bahkan berita TV terakhir yang dilihatnya orang-orang Nias marah karena belum mendapatkan bantuan makanan, kemarahan mereka semakin bertambah ketika didengar President SBY mengatakan bahwa gempa Nias merupakan bencana daerah, belum jelas apa maksudnya.
Sekelompok penduduk Nias yang tinggal di Jakarta meratap sedih, namun bantuan belum juga sampai ke tangan rakyat Nias. Mungkin lebih baik ia menjadi sukarelawan untuk program sosial, pikir Marni, saat hatinya selalu dibuat marah mendengar semua respon yang tidak seharusnya.
Lelah ia mendengar dengung yang sama dipindahkan channel radio, sebuah alunan lagu manis dari Rosa, dara Sukabumi yang menikah dengan drummer group yang Ia gemari, lagunya boleh juga, kau bukan untukku, begitu sedih. Raka dan sosok liar itu kembali menyapa.
Kedengarannya aneh kalau satu orang wanita mendamba sesuatu yang diluar keinginan wanita umumnya, seperti lelaki yang tampan, dengan penghasilan yang baik, bekerja di kantor terpandang dan dengan penampilan dan materi yang bagus, datang dari keluarga baik, penyayang dan murah hati, mungkin begitu rumus umumnya, namun tidak impian baru Marni yang berbalik 180 derajat, sosok liar yang sering datang jauh dari impian kecilnya, sosok yang kemudian mewarnai setiap aliran darahnya, merusak otak dan jiwanya.
“Terima kasih kau mau membantuku, dan maaf lagi soal yang tadi, gga disangka yang aku buru sudah aku temui, tahu gitu tadi kita bicara disana”, Marni menjabat tangan Handoko dan minta pamit . Lelaki itu masih diliputi emosi, serentetan penjelasan yang ia berikan tak merubah raut Marni, wanita itu masih terlihat kalem dan tidak kaget sedikitpun akan kehadirannya, sangat berbeda dengan dirinya yang sudah resah sejak mendapati kartu nama ditangannya.
————
“Ko, jadi manusia harus realistis, realistis bukannya menerima apa ada nya nrimo tanpa usaha, tapi yah memang keadaannya sudah begitu ndak bisa dipaksa”, suara Marni melengking dari dapur.
“Aku berusaha mengerti tapi kau nampak terlalu tenang dan menyerah begitu saja, ini tidak membantu, yah faktanya memang bukan tanah mereka, tapi setidaknya ada keadilan toh?”, Handoko mencoba menangkis.
“Secara pemikiran iya, tapi siapa juga yang menyuruh mereka tinggal disana, berpuluh- tahun, bukannya mereka harus berterima kasih dapat tempat hidup gratis, kalau waktunya sudah harus dikembalikan yah dikembalikan!”, Marni ketus menjawab, namun hatinya tidak segamblang bibirnya, hatinya miris, kecewa atas kekalahan perang itu.
“Aku pikir kau orang yang tepat untuk semua ini Mar, tapi nyatanya kau sama seperti mereka, Aku tahu kami akan kalah, tapi setidaknya ada keadilan untuk mereka, hanya itu yang aku minta kamu perjuang kan, mereka tidak punya apa-apa lagi Mar, Orang-orang itu membakar habis harta mereka, itu yang tidak adil”, Nada bicara Handoko bertambah tinggi.
Marni duduk termangu di meja makan, dua bulan sudah lelaki ini mengobrak-abrik hari-harinya, tapi Marni tak pernah merelakannya pergi.
“Aku tahu Ko, tapi semua sudah diputuskan tak ada ganti rugi karena mereka tidak berhak atas apapun, kecuali…”, Marni menggumam mencoba berfikir.
“Kecuali apa?, ada apa kau dengan anak pemilik tanah itu?, itukah sebabnya kau luluh, tidak berjuang lagi, kau tidak profesional Mar, nama besarmu nothing!”, Handoko beranjak keluar rumah.
Marni terhenyak dia berdiri dan meraih tangan lelaki yang sedang kalap itu.”Aku akan berusaha dapatkan bantuan sosial, untuk membantu mereka, tapi bukan dari pihak pemilik tanah itu, yang itu sudah berakhir, buku sudah ditutup, palu sudah diketuk, aku tak bisa menahannya, tapi aku bisa mencari jalan lain, bukan untuk keadilan mereka tapi untuk kemanusiaan, perut mereka”.
Mata lelaki itu merah, kemarahannya meledak,
“Harga diri Mar, lebih mahal dari isi perut, mereka terbiasa kelaparan, tapi mereka tidak terbiasa diinjak tanpa dilihat”, Dihempaskannya tangan Marni.
“kau mau apa lagi Ko, aku berusaha semampuku, kau minta terlalu banyak!”, Marni mengikuti langkah lelaki itu menuju pintu.
“Kau tidak pernah berusaha membebaskan tanah itu, tidak juga berusaha mendapatkan keadilan dan bantuan untuk mereka, sejak detik pertama aku melihatmu dengan lelaki itu, aku sudah tahu mereka kalah, mereka salah memilih orang, pergi temui pangeranmu itu”, Handoko melangkah keluar menuju jeep tuanya, ada nada yang menyakitkan dari kata-kata terakhirnya, sebuah kecemburuan.
Marni menghela nafas.
————
“Kau masih bertemu pemuda itu?”, Raka mencoba membuka pembicaraan.
“Iya, aku berniat membantu mereka sedikit, jadi kuminta dia datang”.
Marni menjawab sepenuhnya dengan pikiran dan kata-kata yang selalu rapi diaturnya untuk Raka. Pemuda sempurna menurut definisi harafiahnya.
Seperti definisi- definisi pertamanya tentang sosok pangeran yang kemudian tercampakan begitu saja, setelah hadirnya Handoko, laki-laki dalam rumus liar yang memberinya kejutan-kejutan tentang bagaimana menilai hidup, bahwa semua tidak selalu menjadi milik, selalu ada perjuangan dan hasil, selalu ada air mata dan suka, rumus keseimbangan sederhana, yang meminta lebih banyak usaha.
Waktu terus berjalan seiring lingkaran yang Marni buat sendiri, melarikan diri dari satu sosok ke sosok lain, dia tidak sadar segala tindakannya menyeret dua lelaki dalam peperangan cinta, naif, hidup tidak untuk cinta tapi cinta untuk menjadi hidup, rumus itu pun sudah dikesampingkan, bahkan saat pada penentuan keputusan, hasil akhir yang diperoleh dari tesis sederhana itu adalah, kerusakan jiwa.
Marni bukan lagi si wanita tegar yang hidup dengan dunianya yang wajar, Marni bukan lagi sosok pengacara yang selalu sibuk dengan bukti, tersangka dan sidang. Hidupnya berubah, tuntutan dari medan perang yang digelarnya membawanya menjadi bola ditengah lapangannya sendiri, disepak oleh kakinya sendiri dan masuk kegawang sendiri.
Hari-harinya dilewati dengan keputusan sederhana, bukan lagi pemikiran puluhan jam dan rentetan teori dan bukti, tapi lebih pelik, sebuah sosok khayal.
Teori kedokteran menyatakan Marni mengidap kelainan psikis akibat tekanan depresi, obsesi akan sosok ideal, menghasilkan sosok ideal dalam dunia khayal, manusia yang dicintai, dipeluk dan dirasa dalam mimpinya, selalu dilihat dan ada hanya oleh matanya.
Keputusan untuk membawanya ke rumah sakit, dilakukan Handoko setelah kejadian-kejadian tidak masuk akal yang dilakukan Marni,
“Aku makan siang dengan Raka tadi, dia sudah memaafkan aku, kita bicara panjang, Ko, aku akan jadi pengantin”, kata Marni suatu sore, kejadian kesekian yang diyakini Handoko aneh.
————
Sore itu, angin bertiup lembut, halaman rumah sakit yang hijau nampak lengang, sosok wanita sedang asyik dengan buku dan pena ditanganya, saat seseorang menyapa wanita itu malah menjauh, Lelaki itu terus mendekati, wanita itu berontak namun kemudian terduduk kelelahan di rumput.
“mana Raka, aku bilang jangan datang kalau tanpa Raka”, teriaknya bercampur tangis.
Handoko menghela nafas panjang, bagaimanapun usahanya Raka tidak akan pernah kembali.
“Marni, maafkan aku”, hanya kata-kata itu yang bisa diucapkan lelaki itu.
Jiwa Marni semakin labil, dia jatuh cinta pada dua lelaki dan tekanan membuatnya memilih menjalani kesendirian dengan sosok bayangan perpaduan keduanya, namun sayang belahan jiwa lainnya pergi, dan sosok itu menjadi tidak sempurna.
Dokter memberikan terapi sengatan listrik untuk membuatnya tenang dan melupakan semua pikiran-pikiran dunia khayalnya. Namun terapi itu dapat membahayakan hidupnya, tubuhnya. Wanita itu terlihat sangat kurus, garis kecantikan masih nampak di wajahnya namun duka telah menyamarkannya.
————
Sebuah kecelakaan pesawat terbang jurusan Jogja mengakibatkan puluhan orang luka berat dan menewaskan beberapa diantaranya termasuk seorang pengusaha muda, pemilik usaha real estate ternama di Jakarta.
Marni, masih terlelap tak berdaya di rumah sakit, kabar itu tak pernah didengarnya. Peperangan yang seolah usai oleh takdir, takdir yang membuat Inah kehilangan tuan besar tercintanya, takdir yang membuat Handoko merasa kalah, takdir yang membawa Marni menjadi sahabat setia sang mimpi, sosok perpaduan dua lelaki yang dicintainya, yang ada dan hidup di alam khayalnya, membuatnya menjadi wanita yang gemar berbicara sendiri, tertawa dan merajuk, terkadang serius membicarakan persidangan dan teorinya, kadang terlihat asyik bermain kartu tanpa lawan.
“Aku sudah tak mampu hidup, dengan melihat semua ini Ran, aku kalah, dia sudah pergi bersama ego ku dan Raka. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari keadaan ini”.
Ranti memeluk tubuh lelaki didepannya, sosok yang selama ini dikenalnya periang dan tangguh sudah berubah, dia melemah dalam raganya, hatinya pecah.
————
Marni terbangun dari tidurnya sore itu, Raka datang menjenguk, Raka yang telah berubah, Raka yang menjadi sosok impian keduanya, lembut, tegas , tidak lagi si Mr. perfect, pemerhati, dan tidak hanya hidup untuk uang, Marni adalah wanita paling bahagia sore itu.
Marni melangkah keluar mengikuti sosok Raka yang mengajaknya keliling taman, Marni terhenyak, Raka berubah, caranya berpakaian, bukan lagi Mr. perlente yang dikenalnya, dia tersenyum, Raka terus melangkah, digandengannya Marni, dan keduanya menikmati sore itu.
“Mar, sedang apa kau disana?” wanita itu tidak menjawab, Handoko menghampirinya, menepuk pundaknya, Marni terhenyak di tepisnya tangan Handoko,
“mau apa?, sukanya mengganggu orang saja, tidak kasihan kau dengan Raka, dia baru datang kau sudah mau menyuruhnya pulang”, katanya kemudian.
Handoko menghela nafas panjang dia sudah tahu maksud Marni, walau dia tidak melihat siapapun sore itu, walau matanya jelas melihat Marni sendiri berjalan ditaman, dengan terpaksa dia harus menjawab,
“oh , maaf, aku hanya mengantar makanan, tentu Raka boleh tinggal sampai kapanpun dia suka, aku pergi”.
Handoko meninggalkan wanita itu, yang masih asyik berbicara tentang sebuah komplek pertokoan yang akan dibangun di jakarta, menggeser pedagang Tanah Abang, sesekali terdengar tawa renyah yang sama sekali tidak membuat Handoko bahagia, hatinya menangis.
————
Sosok moksa dalam cerita, Marni masih terduduk dipangkuan pangerannya, dia adalah ratu malam itu, kebahagiaan yang dirasa melebihi kepuasan akan kemenangannya meninggalkan ibu dan rumahnya setelah pertentangan dengan ayah tirinya, kemenangan yang membuatnya menjadi sosok pengacara ternama.
Kebahagiaannya kali ini adalah tersempurna, dia telah mampu membuat pilihan, meninggalkan dua sosok jiwa yang memberikan kekacauan dalam hidupnya.
Sosok moksa dalam cerita Ciderella itu memanggilnya menari di sebuah pesta dansa dan membuatnya ratu dipangkuan pangeran sejatinya.
“Kau tampak cantik, secantik waktu itu”, suara penuh kelembutan yang telah lama meninggalkan nya, suara yang sangat dirindukankan.
“aku merindukanmu!” katanya kemudian.
Tanpa kata keduanya terus berpelukan, Marni tersenyum lega, harinya sudah berakhir, bibit penyakitnya sudah ditemukan, dokter sudah memberikan obat yang terbaik, dia bisa pulang.
Jam berdentang 12 kali, Marni ketakutan,
“Aku harus pulang”, katanya kemudian.
Sosok itu memeluknya lagi, dan dia tersenyum,
Pulanglah tapi jangan lupakan aku .
Marni menangis haru diberikannya pelukan terakhir, sebelum dentang kedua belas Marni sudah berlari, Aku Pulang.
————
“Kenapa kau?”, Handoko membangunkan isterinya yang berteriak-teriak malam itu. Wanita itu terbangun namun nafasnya masih menderu, keringat dingin mengucur,
“Dimana aku?” tanyanya kemudian.
Handoko tersenyum, dipelukkan tubuh isterinya,
“di rumah, mau dimana lagi?”, dengan senyum dikecupnya kening isterinya.
Marni mencoba merangkai semua mimpinya, batas sadar dan tidak, tidak ditemuinya.
“Ko, aku boleh minta sesuatu, dan janji kau tidak akan marah?”
Marni merapatkan wajahnya di dada handoko, lelaki itu mendesah,
“Tergantung apa dulu?”,jawab Handoko.
Kau ini, boleh tidak ?, sergah Marni.
Hondoko mengusap rambut isterinya, basah, keringat itu masih tersisa.
“Apa sih yang gga buat ratu?”. Sahut Handoko sambil memberikan kecupan di kening Marni.
Marni tersenyum lega. “Tolong antar aku ke makam Raka besok yah!” katanya kemudian.
Handoko berfikir sejenak, diraihnya tangan isterinya,
“Iya kita akan kesana, tapi bukan besok, hari minggu saja”.
Malam semakin lelap, Marni masih terduduk di bangku panjang itu, sendiri.