Raden Ayu Pramesya
Selasa 4 Juni
Aku masih terpaku di bangku biru kelam di ujung Stasiun Tugu Yogya – saat seorang lelaki tua berkaos coklat tua menawarkan jualannya. Pencarianku akan adamu belum juga tertuju, dimana kamu, tidakkah kau dengar kedatanganku, aku beranjak mencoba mencari suasana lain, stasiun ini masih ramai, pedagang asongan riuh di sana sini menjajakan dagangan nya. Terdengar suara peluit panjang pertanda akan datang kereta, kereta ketiga sejak aku duduk di kursi buluk ini, jenuh dan pantat ku sudah panas rasanya aku pun beranjak seiring derit rem kereta. Pramek dari Solo, kulihat beberapa penumpang turun sore ini tidak banyak rupanya.
Ku coba bersandar di dinding toko makanan kecil di sebelah peron keluar stasiun, siapa tahu kau menunggu ku disini.
Riuh suara penjual asongan menyambut kedatangan penumpang, berlomba menyodorkan dagangannya, merajuk, membuat kepalaku semakin pening, ketika kemudian seorang anak kecil mencoba merayuku, “sepatunya mas saya bersihkan?…tolong mas seharian belum dapat kerjaan ne?” tanya nya mengiba dengan senyum terkulum dibibirnya
Hal yang tak pernah aku perhatikan, semir sepatu, mencuci saja malas rasanya, “tidak, sepatu ku tidak perlu di semir” kataku,
“mas, tolong mas” rengekannya membuat ku risih. Peron ini sudah sepi, penumpang Pramek tadi sudah pergi semua rupanya, tinggal aku bersandar di dinding dengan anak kecil merengek di samping ku, “sudah berapa lama kamu jadi tukang semir?” aku mencoba mencairkan kebisuanku dengannya, akhirnya, kuberikan dua sepatu butut ku.
Aku terduduk di bangku panjang, kalah aku dengan si kecil ini, mungkin ada baiknya, biar mengkilat nanti waktu bertemu bidadariku. Kamu pasti terkaget-kaget.
“saya sudah dari umur 7 tahun nyemir disini mas” kulihat mata bocah ini hitam dan jernih pasti anak yang pintar, “lah umurmu berapa sekarang?”tanyaku penasaran. “12 tahun”, jawabnya lugu tangannya masih sibuk mengusap sepatu kulit tuaku.
Anak ini sudah 6 tahun bergulat dengan pekerjaan ini dia begitu telaten dan sabar melakukannya, demi sesuap nasi.
Malas aku meneruskan keingintahuanku tentang Bono, si kecil tukang semir sepatu. Hati kecil, aku mulai membandingkan kelakuan bidadariku, Rasya kalau Bono yang kecil saja sabar melakukan sesuatu untuk mendapatkan hal yang mungkin ada dalam angan dia, baik itu sekolah atau apapun, kenapa kita berhenti, perjalanan dan perjuangan kita belum seberapa dibanding Bono, kan baru 4 tahun, Sya.
“Sudah mas seribu lima ratus saja” kukeluarkan 2 lembar ribuan “sisanya ambil saja” kataku sok dermawan.
“Mas mau kemana?” mata nya tambah jernih sambil menggenggam lembaran ribuan dia terus bertanya, “Kok dari tadi saya lihat bengong disini, nunggu jemputan yah kok lama banget, naek taksi ajach mas atau biar bapak saya yang nganter, dia tahu semua penjuru Jogya kok, bapak saya tukang ojek mas” tanpa berhenti sedetik pun untuk bernafas dia terus menghujani aku dengan kata kata, dan baru pergi ketika aku menjawab tidak dan terima kasih. Dia pun melangkah lemah meneruskan perjuangan nya hari ini.
Aku masih terjebak disini masih terduduk di bangku panjang samping peron, statiun Tugu Jogya.
Sebenernya apa mau mu, meminta ku kesini dan dan membuat ku menunggu hadirmu?
Mendengarmu adalah siksaan atau panggilan aku tidak tahu, yang aku tau pasti aku akan melakukannya, begitu juga kemarin, saat subuh kau coba menghubungiku, “mas tolong nanti hari Selasa tanggal 4 ke Jogya yah, – nanti ketemu distasiun, penting, saya kangen”, Itu lah sepenggal kata saat kau menelepon ku dari hp temanmu.
Rasya….jauh sudah perjalanan kita, tapi kita masih terbelenggu. Keadaan dan aturan hidup didunia ini membuat ku ngilu, penat. Apakah begitu rumitnya untuk mendapatkan yang kita mau.
Yah ini sudah kesekian kalinya sejak peristiwa memilukan itu, bagiku, permintaan ibumu dan sumpahnya akan kehadiranku yang tidak akan membahagiakanmu. Rasya aku coba kuat hari itu namun jika kau tau, perih rasanya hatiku, bukan saja karena aku sangat mencintaimu, tapi kebencianku akan suatu tuntutan itu yang mengirisku
Rasya…aku mengenalnya 5 tahun lalu tepatnya Raden Ayu Pramesya putri sulung keluarga ternama di Jogja, salah satu kerabat keluarga Keraton. Gadis dengan kulit sawo matang dan rambut panjang hitam legam, badannya tidak begitu tinggi, sedikit kurus, bulu mata yang lentik dan lesung pipi adalah ciri khasnya, dia begitu piawai membuat orang terkagum dengan segala tingkah lakunya, bahkan berak pun mungkin dia cantik, begitu gumamku pertama kali melihatnya.
Hari itu masih kuingat saat kecelakaan kecil mempertemukan kita di sudut malam simpang lima, sebuah kata tersimpan dalam hati yang tak mampu kuucapkan. Rasya, tak pernah lelah mataku mengikuti gerakmu, “mas aku ingin ini, aku mau itu, aku pasti bisa ini”.
Hari itu saat ibumu sakit dan kau harus pulang ke Jogya. Sya, aku sudah ketakutan.”mas Rasya gga akan lama, ibu cuma kangen kok”, dan aku tersenyum dan aku mengantarmu ke terminal.
Seminggu tidak melihatmu, serasa serak kerongkongan ku, kering Sya, tidak ada candamu, kemarahan mu kalau aku sedikit saja membuat kesalahan, kecemburuanmu saat telepon genggamku berdering tidak jelas dari mana.
Kau datang hari berikutnya dengan wajah sayu mu, aku tau, pasti ada sesuatu dan aku tau pasti sebagian dari itu atau bahkan seluruhnya adalah aku.
Stefanus Priambodo, mungkin getaran nama itu tidak dirasa orang tuamu, “nak Pri dari mana? sudah lama merantau di Semarang? keluarga tinggal dimana? kerja apa?”, ramah menyapa ayahmu mencoba mencairkan kebekuan yang dibuat ibumu.
Rasya – Raden Ayu Pramesya, nama indah mu yang selalu menggelitik malam ku. Kekecewaan ibumu akan hadirku yang mengurungan perjodohan turun temurun keluarga besar Pramudyo.
Seandainya kau tau Sya aku tidak pernah berencana menghancurkannya, aku datang dengan kebesaran cinta ku. Sya, semua terjadi begitu saja, untukku, orang sekuat dan seangkuh aku, paling tidak itu yang selalu aku dengar dari pendapat orang.
Kulirik jam tanganku, 4 sore, kemana kau wanita ku, kau memintaku untuk menunggu di stasiun Tugu dan sudah 4 jam lebih aku termangu dungu disini, kau ini sialan, tapi aku tetap memujamu. Wanita yang membuat getaran halus yang tidak kutahu sebelumnya.
Yah hari itu kedatanganmu kusambut dengan kebahagiaan – aku sangat merindukanmu Sya.”kemana saja kau? dan jawabmu singkat ibu ingin ditemani mas” dan aku tak bisa mengelaknya.
Aku pikir hari itu adalah hari bahagia ku, melihatmu setelah sepekan sendirian dan berkutat dengan pekerjaan sialan ku. Bagiku hadirmu walau sedetik adalah senyum yang panjang, Priambodo menjadi lelaki cengeng karena mu, begitu juga hari itu.
Aku semakin gelisah sepanjang perjalanan saat kulihat kau membisu bibirmu seperti terkunci , mata hitam tajam dengan bulu lentik itu tidak berekpresi, kau hanya diam menatapku dengan mata kosong itu.
“Kenapa sya? kau mau ngomong apa? aku siap sya” tegar aku mencoba bicara.
“nanti mas”
Sambar geledak, setan apa lagi ini, apa yang hendak kau katakan. Sampai dirumah, rumah kita Sya, rumah rahasia kita, rumah yang mengikat kita menjadi pasangan tanpa saksi. Kau masuk lebih dulu dan langsung rebah diranjang, kubantu kau melepas sepatu, menyalakan air hangat, menyiapkan handukmu, indah bukan? apakah aku kurang mengasihimu, tapi Sya aku yakin setiap lelaki akan rubuh dihadapanmu, begitu juga Waseso Wibowo, lelaki keturunan ningrat yang aku tau kemudian telah bertunangan denganmu, hubungan yang syah dengan saksi – sambar petir Sya aku rubuh dan luluh, jadi itu yang mereka lakukan.
Pramudyo, apa yang kau lakukan dengan wanita ku, kau jodohkan dia dengan lelaki yang tidak diiinginkan nya. Pramudyo, aku yang pantas untuk Raden Ayu Pramesya – Aku – cuma aku, seolah berteriak aku tidak menerima kenyataan dan keputusan mu untuk menerima pertunangan itu.
Rasya yang kukenal sudah melemah dan dia tunduk pada ketukan palu sang Ibu. Rasya maafkan, 4 tahun perjalanan cinta kita, mencoba memperjuangkan yang tidak bisa kita dapatkan. Tapi kenapa, pertempuran kita baru dimulai dan kau sudah menyerah – tentara macam apa kau?
Rasya wanita ku, dia melemah karena kecintaannya pada Ibundanya, dan aku pasrah. Sama ketika kau mengambil barang-barangmu dan pindah, aku pasrah. Hidupku akan kujalani dengan harum baumu yang tertinggal, wangi kamboja yang selalu kudekap.
Keputusan yang kau ambil mengguratkan perih yang dalam cukup dalam saat aku sadar betapa berartinya dirimu, sama ketika pelukan hari itu, hari saat kedatanganmu dan semua cerita mu, peluh kita beradu bau harummu, aroma kamboja dari tubuhmu. Saat kau pasrah dalam rengkuhan ku dan kita bergulat dengan cinta, lagi sya, sama seperti malam-malam dulu, indah. Namun bukan hanya itu keindahanmu, seluruhnya Sya, seluruh adamu adalah keindahan bagiku
Raden Ayu Pramesya, dimana kau juwitaku, belum juga kau muncul, lapar rasanya perut ku. Bau soto ayam mengusik hidungku dan menggoyangkan kakiku untuk menghampiri warung kecil diluar pintu keluar Stasiun Tugu. Warung ini sangat sederhana, kulihat beberapa kursi sudah berisi , orang-orang yang baru datang dengan kereta api Pramek dari Solo tadi, mereka sudah selesai makan, kulihat seorang bapak tua disudut sedang asyik menyerumput kuah soto.
Jangan-jangan kau tidak akan menemukanku diwarung kecil ini, tapi, sudahlah kau pasti akan menelpon handphone ku, kau tidak bodoh kan. Suapan pertama membuat cacing diperutku tertawa dan aku mulai merasa bertenaga lagi, namun aku tidak bisa tertawa sampai habis nasi ku, ludes, seludes hatiku saat kau melangkah meninggalkan rumah kita. Kau menangis sya, kau dekap aku berat. Sya aku terlihat tegar kan? tapi Sya ludes, hatiku sudah hampa dan kau pergi untuk pulang kekotamu, meninggalkan aku, kehidupan kita, yang terpahit kau juga meninggalkan cinta kita.
Raden Ayu Pramesya, kulirik jam tangan ku, jam tujuh malam matahari juga sudah pergi orang-orang sudah berganti, sementara aku masih terduduk sendiri, sudah tujuh jam Sya dan bau badan sudah membuat perutku sendiri mual. Aku harus kemana, klo aku pergi kau tidak akan menemukanku.
Tapi aku tidak bisa disini semalaman, Sya aku harus cari penginapan dan kau pasti akan menelphon ku nantinya, tapi Sya kapan?
Alamat rumahmu masih ditangan ku, bahkan aku masih ingat betul jalannya, haruskah aku datang kesana?
Tidak aku tidak akan sanggup melihatmu dengan lelaki itu – melihat perutmu yang membuncit, 6 bulan sejak perpisahan itu dan 4 bulan sejak pernikahanmu.
Sya, dia memiliki mu, dia akan menjadi ayah dan kau ibu, hebat sekali kau Sya, katanya kau tak cinta. Aku muak mendengar berita waktu itu seorang temanmu yang tak sengaja kutemui di toko buku, “Rasya sudah mengandung mas, mas akan jadi paman lho?”, lelucon apa ini, harusnya aku jadi bapaknya, pening dan perih aku mendengarnya.
Sya, dimana kamu juwita ku, warung soto ini sudah hampir tutup Sya sudah habis dagangannya, tapi kau belum juga muncul, gatal kepalaku Sya bukan karena ketombe tapi karena ke alpaan mu.
Seperti beban lima kilo bergelayut di kakiku berat rasanya melangkah seberat hati ini menerima permainanmu. Aku memilih masuk kembali ke Stasiun, setelah Ibu tua pemilik warung ini dengan sopan meminta ku pergi, raut mukanya yang kelelahan seperti tidak tega mengusirku dari bangku panjang warungnya, sangat berbeda dengan apa yang kau lakukan saat ini. Sya, kau tega sekali membuat ku menunggu 7 jam berlalu setega kau usir cinta ku dari hatimu.
Suatu sore di bulan Agustus 4 tahun yang lalu sore itu seperti film India rasanya. Hujan gerimis di penjuru Semarang. Aku terduduk manis di sebuah rumah kos Putri di daerah Krapyak, setelah satu jam menunggu ritual mandi akhirnya gadis pujaan ku muncul, dengan segelas kopi susu kesukaanku, Wanita ku hari itu kau menjadi milik ku bukan? Saat dengan ragu aku menanyakan jawab mu atas curahan hatiku satu minggu yang lalu kepala mu mengangguk perlahan membuatku tak sabar memeluk mu dan satu jam menunggu menjadi tidak sia-sia bagiku.
Namun tidak hari ini Sya aku tidak bisa menjadi penyabar, aku sudah menjadi penunggu yang baik sama seperti dulu Sya. Namun kesabaran ku sudah hilang , ketika kesadaran akan pantat ini yang sudah terduduk di bangku biru tua lagi, bangku yang sama 7 jam lalu.
Stasiun ini masih ramai, orang-orang datang dan pergi kulihat seorang ibu sedang berdebat dengan petugas peron masuk stasiun, samar aku mendengar karena letaknya 10 langkah lebih dari bangku ini, tidak jelas tapi keduanya nampak kesal satu sama lain. Sekesal hati ku, aku merasa seperti orang tolol diam terpaku 7 jam lamanya di Stasiun ini, mata beberapa pekerja stasiun mulai melirik curiga pada ku, mungkin dikira aku maling, sialan kau Sya kemana kau, kubunuh kau nanti Sya, kulumat kau nanti.
Aku masih terduduk kelu di bangku yang mulai kurasa penuh dengan jarum ini, bibirku terasa kering, tenggorokanku serasa gatal, sialan. Jam lamban sekali, baju ku sudah basah, gatal rasanya seluruh badanku. Kau buat aku jadi pecundang begini Sya, kau pikir aku siapa?
Bodoh aku meratapi ketololan ku sendiri menunggu seperti keledai dungu menunggu wanita yang bukan lagi milikku. Sudah pasti kau hanya mempermainkan aku, Sya.
Peluit panjang kembali terdengar jam 8.15 kereta api terakhir hari ini. Setan perempuan kau belum muncul pedagang asongan sudah mulai merapikan dagangannya, beberapa diantaranya kulihat sudah keluar dari stasiun tapi ada juga yang menggelar korannya di belakang tempat pembelian tiket, mereka bermalam. Namun aku tidak akan bermalam Sya tidak setelah 8 jam aku menunggu mu, tidak malam ini, namun juga tidak untuk malam-malam selanjutnya, cukup Sya, Aku Stefanus Priambodo tidak akan takluk lagi pada kata-kata mu.
Gontai aku melangkah keluar, sosok Bono nampak berlari mendekat, anak itu masih disini rupanya. “kok masih disini mas?”, polos pertanyaannya, menyakiti hatiku. “ini sudah mau pulang aku menjawab sekenanya”
“oh sudah selesai urusannya ya mas, wah kapan-kapan main lagi ke Jogja ya mas, nanti naik ojek bapak saya?”, bocah lugu, dia benar urusanku memang sudah selesai. Urusanku dengan mu Sya, cukup rampung sampai disini.
“iya, lain kali naik ojek bapak mu yah” anak itu pun berlari keluar lebih dulu setelah menjabat tangan ku.
Diluar stasiun lalu lintas masih ramai sudah lama aku tidak ke Jogya mungkin ini yang terakhir kali nya, Stefanus Priambodo melemah lagi sialan.
Tukang ojek yang kusewa untuk mengantarku ke Terminal Bis ramah menyapa, umurnya kira-kira 45 tahunan, tapi caranya naik motor masih gesit, motor RX King tua melaju dengan mulus memotong padatnya lalu lintas. Aku masih termangu, segala ucapan dan pertanyaan si Bapak tidak lagi kudengar saat kemudian sepeda motor berhenti baru aku sadar, aku berada di jalan yang sangat kukenal, jalan yang membawa ku kerumah “wanita sialan!” tanpa sadar aku mengumpat.
“wah mas ada ambulan kita harus berhenti dulu, bis nya masih ke kejar kan mas,” tanya si bapak. “Rombongan ambulannya kok panjang sekali ya mas pasti yang meninggal atau sakit orang penting” sambungnya kemudian. “lihat mas mobil di belakang ambulan banyak sekali.
“Pejabat kali pak dan bukan orang sakit, tapi orang mati, liat bendera merahnya”, aku mencoba menjawab, setelah kulihat bendera merah dari sisi kanan mobil ambulan itu.
Aku mulai geram dengan panjang antrian yang menghambat perjalanan ku, sudah muak rasanya berada di sudut jalan ini se muak aku dengan wanita ku.
Rombongan ambulan itu melintas perlahan didepanku, jantungku berdetak kencang. Ku coba mendongak mencari tahu isi ambulan namun tenggorokanku tersedak bau harum kamboja sekelebat bersama menjauhnya ambulan, perasaan aneh yang kemudian membawaku menghardik bapak tukang ojek untuk segera berjalan.
Kutinggal kan Jogja dengan perasaan janggal.
Di sebuah pusara di sudut kota Jogja
Raden Ayu Pramesya
Lahir Senin Wage 10 Agustus 1977
Wafat Selasa Kliwon 4 Juni 2004