Cerita dari Kenangan Terindah
Hari ini hari kamis, 15 Maret 2007, hari ini hari ketiga aku hanya diam dirumah, satu karena badan memang tidak enak, dua karena kesibukan Sean jadi aku tidak bisa kekantor.
Kegiatan dirumah gga berlangsung lama, chek email, ngurus order selesai dalam 30 menit, setelahnya tidak tahu harus ngapain…
Tiba tiba aku teringat sosok ‘mbah putri’ sosok yang menjadi idolaku mungkin sampai sekarang.
Nenekku lahir dari keluarga petani dan juragan bata merah di desa Pakis Boyolali, tidak banyak waktu yang aku habiskan dengannya, tapi sosoknya sebagai wanita pekerja keras terus melekat.
Kakeku sendiri adalah seorang tentara, sosok yang tidak begitu kukenal, karena beliau meninggal saat aku belum genap 5 tahun, yang kutahu dia lelaki gagah, tampan dan sabar. Dia mencintai anak dan istrinya, beliau meninggal karena serangan jantung, samar aku ingat hari beliau pergi dan upacara pemakanamannya.
Tidak banyak yang aku ingat, selain aku duduk diranjang pantul dengan celana kodok garis biru hijau memandang sekitar tak tahu apa yang terjadi, sementara rumah penuh dengan orang yang tidak aku kenali.
Aku bahkan tidak tahu rasa pelukan kakek, Aku baru sadar, Oh…
Subinem dan Purnomo, nenek dan kakekku tercinta, mereka bertemu dan menikah di Boyolali, kakek berasal dari Delanggu harus memboyong istri pindah ke KedungJati Semarang karena tugas negara. Disanalah kemudian lahir Suratno, Sulastri, Setyowati, Sumarni dan Endah Sri Wahyuni. Dua orang lagi saudara ibu, aku tidak mengenalnya karena mereka meninggal waktu kecil, aku hanya tahu makam mereka. Setiap lebaran tiba kami pergi nyekar kemakam kakek, om dan bulik (tante) ang aku lupa namanya. Seandainya mereka masih ada keluarga ibu jadi lebih ramai, dan aku punya lebih banyak tempat untuk bermanja, tapi toh garis berkata lain dan aku tetap cucu pertama kebanggaan mbah putri, itu yang ku tahu!.
Sepeninggal kakek, nenek berjuang sendiri mengurus bulik bulik ku, ibu adalah anak pertama yang menikah di keluarga Purnomo, Pakde sendiri baru menikah waktu aku berumur hampir sepuluh tahun, aku ingat benar karena aku mendapat tugas menjadi ‘patah’ (gadis kecil yang duduk disamping pengantin jawa, bertugas membawa kipas, dan mengipasi pengantin supaya tidak kepansan, biasanya diambil dari anak anak saudara pengantin).
Nenek mempunyai sebuah toko di sebuah toko di stasiun kereta api Kedungjati, setiap pagi sebelum jam 8 pagi nenek sudah rapi dan siap untuk pergi ke toko, beliau akan berjaga sampai malam. Kalau libur, aku ikut bulik Indah mengantar makan siang dan malam ke stasiun yang jaraknya 15 menit dari rumah nenek. Rumah yang selalu jadi daftar pertamaku setiap liburan tiba.
Ayah dan Ibuku tinggal di Solo, aku lahir Di Solo dan semua adik adikku, kami menetap di Solo sampai sekarang, jadi mudik lebaran selalu membawa aku pulang kerumah nenek.
Sesampai ditoko nenek, aku akan ngotot untuk tinggal, dan bulik Indah harus membujukku dengan sebatang cokelat wafer bergambar superman warna pink kesukaanku supaya aku ikut pulang dan kembali lagi nanti sore untuk mengantar makan malam, tapi toch aku duduk dibelakang counter dengan tangan penuh cokelat wafer, menang ganda, karena nenek!.
Aku menghabiskan waktu menghitung permen karet bundar warna warni dan memasukkannya diplastik kecil, menghitung uang receh nenek, menjadikannya tumpukan ribuan biar nenek mudah menghitung malam nanti, atau sekedar bersembunyi dirumah rumahan toko bermain tikus karet warna cokelat muda dengan ekor panjangnya. Oh Gosh, I Miss that!
Biasanya jam 11 pagi aku sampai toko dan terpaksa pulang jam 3 sore untuk mandi. Perjalanan dari rumah nenek ke toko di stasiun juga menjadi perjalanan favoritku, tidak lama, tapi aku menikmatinya, berjalan diantara rel kereta api, melompat pembatas stasiun, dan berlari menuruni jalan pembatas stasiun dan pemukiman, suka ngos ngosan kalau naik, tapi waktu pulang turun, wah tante Indah bisa teriak teriak menahan supaya aku tidak lari dan terjatuh, aku ingat apa yang selalu jatuh dan membuatku dijewer ibu, yach ‘rantang’ tempat makan nenek, untung terbuat dari alumunium jadi tidak pecah. Jalan menuju rumah nenek cantik, tetangga dan rumah sepanjang jalan jalan penuh dengan bunga bunga, kebanyakan mereka memelihara bunga sepatu, bungan kertas dan mawar. Ada satu jalan setapak di depan rumah nenek, jalan berkerikil batu kali, dengan selokan kecil berair bening dan bunyi air yang gemericik, jalan setapak ini selalu membuat ku tenang, hilang sudah rasa cape perjalanan ke rumah nenek, karena jalan setapak itu tanda rumah nenek tinggal selangkah, aku masih ingat gimana rasanya setiap menginjak jalan itu, ‘Ah…sampai sudah!’.
Perjalanan dari Solo ke Kedung jati kurang lebih 5 jam, kami berangkat dari Stasiun Balapan Solo pagi jam 7-an, aku masih ingat nama keretanya “Pandanaran” warnanya hijau, gerbongnya panjang, akan lebih panjang kalau lebaran tiba, didalam kereta api ada banyak penjual makanan mulai dari kacang kulit, telur puyuh, tahu isi sampai coca cola dan cokelat wafer supermen kesukaanku.
Sampai di Kedung Jati, aku akan menghabiskan waktu di toko dulu, minum teh kotak sosro yang diambilkan nenek baru aku pulang kerumah nenek.
Rumah ‘mbah putri’ luasnya mungkin sekitar 6 are, tanah persegi lebih mirip jajaran genjang itu setengahnya adalah taman, terletak didepan rumah, dibelakang rumah hanya sedikit lahan, untuk pohon pisang dan tempat sampah. Ada 4 kamar disana, dulunya cuma 3 tapi karena setiap kali kami datang, aku selalu menghabiskan waktu di kasur pantul (bed yang terbuat dari per besi – dilapisi kasur kapuk randu – selalu memantul setiap kali aku melompat) dan tertidur disana, akhirnya Pakde memberi pembatas kayu jati, jadilah kamar untukku tanpa daun pintu. Dikamar itu ada kaca berbingkai kayu jati, dihiasi ukiran jawa dan kaca es warna hijau menempel didinding dekat pintu masuk, ada juga mesin jahit tua nenek dan lemari kayu jati warna cokelat tua penuh dengan kaset milik pakde-ku. Itulah ruang tidur baruku.
Rumah nenek kalau dibagi tiga bagian (tidak sama besar), pertama sebelah kiri dari belakang adalah kamar mandi dengan bak terbuat dari bata merah lapis semen, bak mandi terbesarku, aku bahkan bisa masuk, kalau sekarang mungkin lebih besar dari bath-up rumah, lengkap dengan toilet sederhana model lama, sama terbuat dari bata merah berlapis semen, didepan kamar mandi ada sumur pompa dan tempat untuk mencuci piring dan baju, diujung depan ada dapur dan jendela serta pintu yang tembus ke taman depan, bagian selanjutnya bisa disebut bagian tengah, terbagi jadi tiga ruang bagian belakang kamar tak terpakai, kemudian ruang makan dan kamar baruku, bagian terakhir adalah bagian terbesar di rumah, mungkin 1/2 nya, dibelakang ada kamar nenek dan satu kamar tante bersebelahan didepannya ada ruang tamu dan TV yang besar dengan kursi ukir jawa berlapis kain beludru cokelat merah khas jaman dulu dan diujung ruang duduk dengan kursi besi warna merah dan hijau, tempat aku dan tante indah maen bekel.
Tante Indah adalah teman bermainku, jarak kami 6 tahun, waktu aku SD tante Indah adik paling kecil ibuku masih duduk di bangku SMP, dia yang membuat aku tertawa terpingkal-pingkal waktu belajar naek sepeda. Sepeda tante Indahku warnanya Orange dan putih, ada keranjang yang berwarna putih didepannya, kami belajar naek sepeda di lapangan dekat rumah nenek, tante Indah dibantu Ibu naek sepeda barunya kemudian setelah beberapa menit ibu melepas sepada itu, dan kemudian yang terlihat hanya bayangan orang putih melesat diikuti suara gedebuk! hehehe, tante Indah kecilku terjatus, dia meringis, sementara aku terpingkal-pingkal, sampai sekarang pun tante ku ini tidak bisa naek sepeda, kalau naek sepeda pelan dia akan jatuh, ups kencang juga jatuh, dasarnya emang gga bisa, wakakakak.
Dilapangan itu aku juga pernah dengan tante Indah menunggu giliran untuk naek helikopter. Kebetulan hari itu ada segerombolan tentara datang, entah dari mana dan untuk apa, yang jelas ada satu helikopter dan beberapa truk tentara, aku menuggu lebih dari 30 menit, ramai sekali semua ingin naek, akhirnya giliran aku dan tante Indah, kami naek, mulai dari baling-balik berputar, sampai pakai sabuk pengaman, sampai aku yang terkekeh kekeh melihat manusia manusia kecil dibawah, kami terbang tidak lama hanya dalam hitungan menit, garis pajang sungai yang membelah 2 desa, hamparan hijau hutan diseberang sungai dan tentu saja bangunan panjang hitam stasiun kereta api dan gerbong gerbongnya yan berbaris rapi, semuanya terlihat jelas dan tetap terekam diingatan ku sampai detik ini. Aku puas sekali, Ndandut juga (panggilan sayang ku untuk tante Indah).
Sore dirumah nenek biasanya aku bermain ditaman depan, disitu ada pohon jambu tempat aku berlatih memanjat dan tentu saja bertengger disana sambil makan jambu biji, atau hanya berbaring dihamparan rumput hijau, taman nenek sangat cantik, penuh dengan bungan sepatu, bungan mawar, dan bunga telur (sebenarnya cuma pohon pacar yang ujungnya dipasang kulit telur oleh nenek, hingga penuh – jadilah pohon telur), dirumah nenek tidak ada tembok pembatas hanya barisan pohon hijau yang dibentuk persegi mengelilingi rumah., ditaman itu juga aku bermain masak masakan dengan alat alat masak terbuat dari tanah liat yang dibelikan nenek dipasar, mulai merebus, mengoreng sampai membakar, lengkap, korbannya, tanaman nenek, arang hitam nenek, dan rumput hijau nenek yang akhirnya terbakar, aneh waktu itu aku sudah boleh maen api, hehe, lupa, pasti itu akal akalan aku. hahaha.
Setiap lebaran, nenek akan pulang dari toko dengan kembang api, ada 2 macam kembang api yang aku suka, kembang api bakar dan tetes, menjelang senja, aku dibantu tante akan sibuk memasang semua kembang api di pohon depan rumah, lalu secara bergiliran kita nyalakan, aku akan tertawa dan meloncat loncat kesenengan, setelah itu aku akan sibuk memungut batang kembang api bakar yang terbuat dari besi dan membuangnya di selokan, satu bunyi yang selalu aku tunggu waktu memasukkan besi besi kecil itu keair – buzz bunyi bekas panas bertemu air. Selesai dengan kembang api, kami menggelar tikar ditaman depan, terdengar suara takbiran dari jauh, samar, samar tapi aku ingat benar, aku suka suaranya, terdengar merdu dan beraturan, kami akan berlama lama ditaman berbaring melihar langit yang terang oleh bintang, sampai ibu memindahkan aku kekamar karena terlelap oleh udara malam yang segar.
Pernah waktu itu kami pulang ke Kedung Jati, Semarang hujan deras, arus sungai naek, rumah nenek pun kena banjir, aku ingat aku tertawa cengar cengir di atas lemari nenek, sementara ibu, tante tanteku dan nenek sibuk menyelamatkan barang, malam semakin larut, air semakin naek jadilah akupun semakin naek ke lemari yang lebih tinggi, sampai akhirnya tante Wati menurunkan aku dan menggendong dipelukan, aku ingat, selendang batik merah cokelat, aku bahkan ingat baunya. Kami akhirnya keluar rumah, entah bagaimana, yang jelas aku dengan tenang melungkur digendongan tante Wati, kita akhirnya tiba di desa seberang stasiun yang memang lebih tinggi, sehingga tidak terkena banjir. disitulah kami menunggu air reda.
Apalagi yang aku ingat dari rumah Kedungjati yang sekarang sudah terjual bersama kenangan masa kecilku dengan nenek, mbah putri-ku.
Oyach, aku juga suka bermain disungai, ibu dan bulik bulikku akan sibuk berenang (mereka sudah kenal kota, dandanan sudah paling keren — jadi ingat bulik Wati dengan rambut super keriting besar, kaos kaki selutut dan tangan penuh gelang yang lagi ngetrend, hahah,) — mereka masih suka mandi disungai, airnya bening dan bersih, jadi tidak masalah, sementara aku? hem, sibuk bermain lumpur dan hewan kecil, sepajang jalan pulang aku akan sibuk dengan bunga putri malu yang terhampar sepajang jalan pulang, kalau mereka sebelumnya terbuka, maka tidak lagi setelah aku lewat dan menyentuh mereka semua dengan jari jariku, aku akan mengendap endap seolah olah berhadapan dengan manusia kemudian menghardik mereka yang mekar, aku ingat aku sangat bahagia, Gosh, so easy to make me happy…Ditengah jalan aku akan berhenti di pohon Asem besar, dibantu ibu aku ambil buah buah asem yang sudah matang dan jatuh, masih dengan kulitnya, kami bawa pulang, sesampainya dirumah ibu akan membuka kulit asemnya, dan sepiring kecil gula pasir siap menemani aku makan asem. Pertama aku akan tersenyum karena rasa manis gula pasir, kemudian meringis kekecutan asem trus cengar cengir siap membuang biji asem dari mulutku, biji biji itu tidak aku buang tapi aku kumpulkan, setelah dicuci ibu, biji biji itu jadi biji dacon ku. Aku suka main dacon, dacon pertamaku aku dapat dari nenek, warnanya merah tua terbuat dari plastik kalau dibanting akan pecah, biji bijinya juga dari plastik, biasanya ku bermain dengan tante Indah jumlah bijinya dua belas per lubang, suka cepat sekali habis kalau cuma 12 makanya aku kumpulan biji asem, biar lebih banyak dan maennya lebih lama.
Lebaran datang sama artinya dengan libur dirumah nenek sama artinya dengan wafer cokelat bergambar superman warna orange biru, tikus karet, permen karet warna warni, kembang api, kacang merah hijau dan mainan baru dari nenek.
Nenekku pribadi yang lugu, rambutnya hitam panjang digelung kebelakang, dengan rok dan atasan yang selalu serasi, tas pinggang dan sendal terepes, Ia wanita modern pada jamannya, seorang janda istri purnawirawan ABRI, yang harus menahan kerinduan sejak kepergian kakek, mbah kung-ku.
Berjuang menghidupi anak-anak dengan toko yang menguras waktu dan tenaganya, sementara wanita lain diam dirumah. Nenekku adalah wanita pekerja pertama yang aku kenal, sayang waktu berlalu begitu cepat seiiring dengan kerinduan dan kelelahan, kondisi kesehatan mbah putri menurun, bertambah parah setelah toko dijual, dan dia sama sekali tidak tahu harus berbuat apa, kegiatan yang dilakukannya berpuluh tahun sudah ditutup. Karena kesehatanya yang terus menurun kami membawa nenek pulang kerumah kami di Solo, Rumah dikedung Jati kosong, dan waktu menjemput nenek adalah waktu terakhirku menikmati rumah yang sekarang aku rindukan.
Nenek bersama kami kurang lebih 2 tahun, tante Marni yang rajin mengurusnya, karena saudara ibu yang lain di Semarang sementara ibu sibuk dengan aku dan 3 adikku, nenek terus keluar masuk rumah sakit, dokter sudah tidak tahu harus bagaimana, aku sendiri tidak tahu apa sakit nenek, yang aku tahu wanita yang sudah keriput dan semakin kurus itu terlihat menderita.
Nenek meninggal dikamarku, diranjangku, disuatu sore setelah kami memandikannya, dia tersenyum dan langsung tertidur tanpa penderitaan, kini dia bersama kakek.
Dan kenangannya tetap bersama kami.
Semua kenangan itu sekarang menjadi kerinduan yang indah.
In Memorian “Maria Subinem” Mbah Putriku.
Seru juga cerita masa kecilnya..
Saya tinggal di Smg, jadi penasaran nih..Kedungjati itu jalan Jogja ya? Jalan Veteran trus belok itu? kompleknya PJKA?
kedungjati, saya jg pernah tinggal di desa itu, dulu ayah saya kepala stasiun kedungjati, sekitar th 80 ~ 90 an. setting cerita nya kayaknya di kampung kalikan ato krakalan.
betul sekali…
nenek saya punya toko distasiun kalikan dulu waktu saya masih kecil..
thank you sudah mampir yach…
miss Kedungjati so much.
Athina
sangat menarik, terima kasih