Buku Tua

Wajahnya sayu, gurat ketampanan masa muda bercampur dengan garis-garis usia, lelaki itu nampak lebih tua dari seharusnya. Matias terduduk di bangku tua depan rumahnya,  bangku yang seumur dengan dirinya.  Kakinya bersandar pada balok kayu, seolah mencari kenyamanan, kaca mata tebal menghias wajahnya dan sebuah buku usang tergenggam erat ditangannya.

Suasana sore di komplek perumahan ini begitu senyap  hanya sekejap setelah riuh anak-anak kecil bermain bola di lapangan sebelah rumah, kemudian suara Adzan Mahgrib membubarkan mereka. Senja yang membawa Matias duduk di kursi usang dengan sebuah buku tebal ditangannya, begitu setiap hari sejak suatu kejadian yang membuyarkan kepercayaannya.

“Ayah  sudah larut, tidak baik duduk di luar dengan udara dingin seperti ini, nanti masuk angin lagi”, Sophia, anak semata wayang Matias mencoba membujuknya untuk masuk, kecantikan nampak di wajah Sophia, mata yang hitam, alis tebal dan hidung mancung, namun badannya nampak lusuh tak terurus.

“Ayolah yah”, Sophia kembali membujuk,  dipijatnya pundak sang Ayah. Namun si ayah tak bergeming  matanya masih tajam menatap lembar demi lembar kertas usang ditangannya.

“Kalau ayah begini terus kapan ayah akan sembuh?, apa ayah tidak ingin bepergian menjenguk makam ibu misalnya?”. Sophia mencoba membujuk, tanganya memeluk Matias dari belakang, di ciumnya rambut Ayahnya yang sudah memutih, sambil berbisik tangannya lembut mengusap rambut sang Ayah, “malam ini Sophia masak bubur ayam kesukaan ayah, sebaiknya kita masuk dan makan, selagi masih panas  iya kan?”,  Mata Matias berhenti menatap buku, sedetik kemudian pandangannya beralih pada Sophia, dilipatnya buku tebal usang itu, sambil mendesah lirih, desahan yang tidak mengeluarkan kata.

Beranda rumah itu terbuat dari kayu, ada pot-pot bunga menghiasi sudutnya  di samping kiri ada meja bulat dengan 4 kursi melingkarinya, semua terbuat dari kayu jati tua yang kuat. Sebelah kanan ada kursi usang yang sudah tidak jelas warnanya,  dulu warnanya coklat dengan pelitur mengkilat, namun semua sudah termakan waktu  alasnya terbuat dari bambu yang sudah tak beraturan dengan sebuah bantal coklat bermotif batik menutupinya, 1 buah bantal lagi dengan ukuran lebih besar menjadi penutup sandarannya. Sebilah balok kayu tepat ada di bawah kursi, sangat pas untuk memanjangkan kaki. Di kursi itulah Matias menghabiskan senja dengan buku tebal usangnya.

Sophia membantu Sang Ayah menuju tempat tidur  dibaringkan nya tubuh tua yang sudah rentan itu, tangan Sophia sibuk mengatur kaki Matias, mengangkatnya dan kemudian menarik selimut tebal hingga menutup tubuh Matias sampai ke dada, diambilnya buku tebal yang masih digenggam Matias, “Sophia taruh di meja ya yah?”, hati-hati Sophia mencoba mengambil buku itu, namun tangan Matias semakin kuat menggenggam buku itu.

“Baiklah,  tapi jangan kelamaan bacanya, nanti ayah pusing,  kan sakit membaca sambil tiduran”. Sophia mengalah, tatapan mata Matias mengisyaratkan keberatan, sejak bibir Matias tidak mampu merangkai kalimat dan bersuara,  mata lah alat komunikasi yang bisa dimengerti. “Ayah, Sophia ambil buburnya dulu”, Dikecupnya kening Matias. Mata Matias menatap sayu wajah anak satu-satunya,  sebuah keraguan menyelinap dalam hatinya, membuat bibirnya bisu, tubuh mungil Sophia meninggalkan Matias sendiri.

Kamar berukuran 5×5 meter dengan dinding berwarna krem itu terasa hangat  seluruh perabotannya terbuat dari kayu jati  warna coklat tua, ditengah ruangan ada sebuah tempat tidur tua dengan kelambu putih menghias sisi-sisinya, disampingnya ada meja-meja kecil dengan lampu kerucut bertutup putih. Sebuah bingkai foto berukuran besar menghias dinding,tepat di sisi kepala tempat tidur. Di ujung kanan ruangan ada sebuah lemari kaca, penuh berisi buku-buku yang tersusun rapi, Meja dengan segelas teh yang sudah dingin dan sebuah kaca mata tebal, tepat berada disamping kiri almari kaca. Disamping meja ada sebuah kursi goyang tua.
Di sudut kiri ruangan ada pintu menuju kamar mandi disebelahnya ada sebuah lemari kayu dan meja rias, meja rias tanpa alat-alat kosmetik hanya sebuah foto tua dan sisir kayu diatasnya. Mata matias menyapu setiap sudut ruangan, tidak ada yang berubah,  diambilnya nafas dalam-dalam, dengan sisa tenaga yang bisa digunakan dengan tangan kanan, dibukanya lembaran pertama buku ditangannya. Tangannya meraba sebuah foto yang tertempel disana, sesaat kemudian matanya terpejam, tetes air mata keluar dari sudut bawah matanya, sekali lagi dia menghirup nafas dalam-dalam, hatinya resah.

Telephon berbunyi ketika Sophia memanaskan kuah bubur ayam untuk ayahnya. “Bagaimana keadaannya?” terdengar suara lelaki diseberang mengawali pembicaraan di telepon,

“masih sama saja, pagi ini tidak banyak bicara hanya minta diajak jalan-jalan di sekitar rumah, setelah makan siang tidak mau keluar kamar, dan seperti biasa di sore hari menghabiskan waktu di beranda sendirian”.

Tidak ada suara dari seberang, mungkin sedang berfikir, “lalu kapan perawat itu datang?”. Suara itu begitu keras membuat Sophia memiringkan kepalanya, menjauhkan gagang telephon dari telinga nya. “Kau bisa menjenguk ku disini akhir pekan nanti”.

Tidak ada jawaban dari seberang hanya desah nafas kesal.  “Ya sudah tidak perlu menjenguk ku, baru minggu depan perawat ayah yang baru akan datang, semoga kali ini perawat itu kerasan”, suara Sophia nampak putus asa.

“Bagaimana kalau perawat baru itu nanti tidak kerasan lagi, sama seperti puluhan perawat sebelumnya? apa kamu akan menghabiskan hidupmu disana?”, Suara itu terdengar kesal.

“Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi, aku sudah terlambat menyuapi ayah makan malam, nanti aku telephon”, Sophia mencoba menyudahi percakapan tidak berujung itu.

“Baiklah, sebaiknya kau pikirkan jalan keluarnya”, terdengar suara gagang telephon terbanting dan tut.tut.tut.

Sophia menghela nafas panjang dan dia hanya bisa terduduk lunglai dikursi kecil disamping meja telephon.

Matias jatuh sakit dan kehilangan semangat hidup sejak kematian istrinya, hari-hari yang dijalaninya kemudian hanya terduduk dikursi roda, berkeliling disekitar rumah dan menghabiskan sore di beranda dengan buku tua yang selalu di bawanya.

Sudah sepuluh perawat lebih berganti merawat Matias namun lelaki tua itu seolah mengusir secara halus kehadiran orang lain di hidupnya, selalu membuat masalah-masalah kecil yang kemudian membuat perawat-perawat itu mengundurkan diri. Sophia ingat betul setiap alasan yang dibuat wanita-wanita berbaju putih itu.

Matias membuka mata,  jari-jarinya masih lembut meraba lembaran foto yang tertempel disampul depan buku tua itu. Buku dengan sampul kertas coklat dihiasi tempelan-tempelan daun kering berwarna hijau dan kuning kelam. Sebuah kehidupan baru yang di jalani nya setelah kematian istrinya. Sebuah kecelakaan yang membuat nya menjalani sisa hidupnya sendiri, kecelakaan yang juga membawa pergi istri tercinta yang telah menemaninya lebih dari 30 tahun.

Diangkatnya buku tua itu, matanya mencoba menatap tajam gambar di lembaran buku itu, samar, gambar itu seolah berselimut kabut, namun di mata hatinya dia bisa melihat jelas sosok itu, wanita yang sangat dicintainya, dibalik bibirnya yang kelu hatinya selalu ingin bicara banyak, namun kesempatan untuk mengucapkan tak pernah tiba, hingga maut membawanya pergi, yang tertionggal kini hanya kenangan. Matanya terpejam, dadanya tiba-tiba menjadi sesak tak kuasa menahan luapan emosi, hatinya menangis. Lelaki tua itu bergerak gelisah, bibirnya ingin berteriak namun urat-urat syarafnya seolah tak menyatukan otak dan bibirnya.

Sophia masih duduk terpaku di kursi kecil di samping meja telephon, pipinya basah, dia terisak, hari-hari yang berat menjadi menu sehari-hari untuknya setelah kepergian ibunya, ayahnya, satu-satunya orang yang diharapkan dapat mendamaikan hatinya. Namun Matias berbuat sebaliknya, ayahnya menjadi keras kepala dan pemarah. “Bunda”, bibir mungil itu dengan lirih memanggil wanita yang dicintainya  seluruh rangkaian hari yang pernah dilalui sekelebat hadir seperti kilasan film cerita dalam benaknya, hari-hari semasa kecil saat ayah,ibu dan dirinya membaca dan bercanda di beranda rumah sambil minum teh,juga ejekan ayah ibunya saat Sophia harus mendekap dirumah sakit hanya karena kejang perut setelah seminggu meninggalkan rumah dan tidak pernah merasakan masakan ibunya, hari-hari yang terjalin sejak mata dan hatinya bisa melihat dan berfikir tentang sosok yang merawatnya.

Diusapnya pipinya yang basah, sudah dua tahun sejak kematian ibu tapi ayahnya tetap bersikap sama, tangannya kemudian meraih bingkai foto disamping telephon, wajah wanita yang sangat dikenalnya terlihat tertawa lepas dan gadis kecil disampingnya menggendong boneka beruang coklat bermata biru yang sampai saat ini masih ada di kamarnya, “kenapa kau pergi, banyak yang harus kita bicarakan bukan?”, bibir Sophia mencoba bicara dengan gambar ditangannya, tangisnya tumpah bersama pikiran yang melayang ke masa dua tahun yang lalu, hari dimana ia menjadi tak termaafkan oleh dirinya sendiri, hari yang kemudian memisahkan dia dari ibu dan ayahnya. “Dia hanya mencintai mu, dia tidak pernah mencintai aku”, bisiknya lirih. Diletakkannya bingkai foto kembali ke meja saat didengar bunyi bel dari kamar ayahnya. Dengan tergesa diusap pipinya dengan kaos yang dipakainya, kemudian berjalan terburu menuju kamar Matias.

Dokter Anton datang 15 menit kemudian dan akhirnya ambulan membawa Matias ke rumah sakit , “Sophia, dia anfal lagi, dia harus dirawat”, Dokter pribadi yang telah mengurus keluarganya sejak dia masih kanak-kanak terlihat dengan serius berbicara.

“Dia nampak sehat tadi pagi dok, bahkan kami sempat jalan-jalan disekitar rumah tadi”, Sophia mencoba memberikan penjelasan.

“Pasti ada sesuatu yang membuat nya selalu anfal rutin seperti ini, sebaiknya kau pindahkan buku tua itu, Aku pikir buku itu yang selalu membawanya ke masa lalu dan membuat nya kehilangan kontrol, jantungnya sangat lemah dia tidak bisa menerima tekanan apapun, dia masih syok”, dokter Anton menambahkan.

Sophia menghela nafas, sesuatu yang sulit dilakukannya, hal yang kelihatan sepele dimata orang namun bagai simalakama untuknya.

“Aku tidak bisa dok, kau juga tahu itu, kalau aku mengambilnya bukannya itu akan membuatnya lebih sedih lagi”, pernyataan yang sama yang selalu dilontarkan Sophia, “puluhan kali aku mencoba, namun tatapan matanya seolah penuh dengan kebencian yang semakin dalam, dia sangat membenciku dok, dia berfikir aku akan mengambil miliknya lagi, aku tidak sanggup dok”, Jari-jari lentik menutup seluruh mukanya, Sophia terisak, “sudah dua tahun dok, ayah masih tidak mau memaafkan aku, dia masih menghukumku dengan diamnya, kau tahu ayah sebenarnya sanggup bicarakan?”.

Sesaat kemudian matanya terbuka, disapunya pandangan keseluruh ruang, tempat yang tak pernah dikunjunginya, tempat yang sangat asing untuknya, perlahan dia coba menggerakkan badannya, ringan dan dia tidak merasakan sakit didadanya, bahkan serasa lega saat dia menghirup nafas dalam-dalam. Di gerakkannya kaki nya satu persatu, dia bisa melakukannya dengan sempurna tiada lagi beban seperti biasanya, mata nya beralih pada jendela-jendela besar di sisi kanan ruangan, tanpa beban dia turun dan langkahnya ringan menuju jendela.
Jendela kaca ini ditutup dengan selembar korden transparan berwarna putih, dibukanya engsel jendela, dimasukkannya penyangga jendela pada lubangnya, sesaat kemudian matanya terlihat curiga.  “Dimana aku?”.

Sinar diluar sangat terang, ia memicingkan matanya, mencoba melihat pemandangan di luar, telinganya mendengar suara tawa, dua orang wanita sedang bercanda. Tak ditemukan asal suara, sesaat kemudian dia beranjak dari jendela, langkahnya menghampiri pintu di samping jendela, pintu ini juga berwarna putih mengkilat, kemudian dia sadar bahwa dia berada diruangan yang tak nampak garis tepinya, semua berwarna putih, pikirannya mencoba mengingat apa yang dilakukannya sebelum sampai ketempat ini. Tangannya meraih engsel pintu, dibukanya perlahan, sebuah sinar sangat terang menyakiti matanya, ditutupnya kembali pintu, “kenapa diluar terang sekali, dimana aku?”, Suara tawa diluar semakin mendekat, kemudian dengan sigap ia menghampiri jendela lagi untuk melihat.

Gadis kecil itu mengenakan gaun berwarna merah muda sangat lembut dan wanita disampingnya mengenakan baju putih bersih, mereka sedang asyik membicarakan sesuatu, sesekali tangan si wanita membelai lembut rambut gadis kecil. Matias mencoba membuka matanya lebar-lebar mencari tahu siapa mereka. Saat matanya menangkap sosok itu ia terkesima, Sophia ia hafal wajah itu, putri cantiknya dengan senyum yang tiada duanya, ia tidak penah melihat senyum seperti itu selain dari senyum Sophia dan bundanya, matanya kemudian beralih pada sosok wanita disebelahnya mulutnya gagap, “Angelia?”, sebuah nama keluar dari bibirnya yang pucat, dengan bergegas ia kembali ke pintu, dibukanya pintu putih itu, dua tangannya melindungi matanya, ia beranjak setengah berlari menuju pohon asam besar itu.

Gejolak antara perasaan rindu dan keheranan, Matias mempercepat langkahnya, ia tidak kuat berlari lagi, nafasnya sudah tersengal-sengal tidak terasa pohon asam itu jauh juga, tidak seperti yang ia kira, sebuah batu menghentikan langkahnya, ia terantuk, tawa mereka semakin dekat namun Matias harus berhenti jari kakinya berdarah. Diusapnya darah itu dengan ujung celana kainnya yang kedodoran, sedikit perih.

“Angelia, kau kah itu?”, serunya kemudian setelah dirasa ternyata ia sudah dekat dengan pohon asam besar yang dilihatnya tadi. Tidak ada jawaban namun tawa mereka berhenti, Matias mengangkat tubuhnya perlahan, jari kakinya masih perih, besar juga batu itu, batinnya,

“Angelia?”, kali ini dia berteriak lebih keras, masih tidak ada jawaban dan tidak terdengar lagi tawa seperti sebelumnya. Matias beranjak langkahnya sedikit terseok, tangannya meraba sekitar separoh menutup mata karena sinar di sekitar yang sangat terang, bibirnya masih komat-kamit memanggil nama Angelia, istrinya.

Tangan Matias menyentuh batang pohon asam, hati-hati ia mencoba membuka matanya, tiba-tiba Matias merasakan hembusan angin, begitu segar, dihirupnya dalam-dalam seolah tidak pernah merasakan sebelumnya, dua tahun hidupnya dihabiskan diatas ranjang, sesekali berkeliling  disekitar rumah membuat ia lupa segarnya udara bersih, dalam sekejam cahaya yang menyilaukan itu pergi, kini mata Matias bisa begitu jelas melihat pemandangan sekitarnya.

Angelia, sosok yang dicarinya kemudian. Namun yang dicarinya tidak menyahut, ia mulai bergumam  aku yakin tadi mereka disini, kemudian matanya lekat memandang pohon asam didepannya, begitu besar dan rindang , ia begitu mengenal pohon asam itu, kemudian dia berpaling, matanya beralih, terlihat olehnya sebuah kolam ikan di samping sebuah rumah tidak jauh dari kakinya berdiri, dengan langkah penasaran dihampirinya kolam itu, begitu tak terurus, tanaman air liar menutup air yang sudah menjadi hijau, terlihat katak yang melompat, Matias mendekat, dilihatnya seekor ikan yang masih tersisa menggelepar diluar kolam, ikan itu sekarat, ikan mas yang cukup besar, diambilnya ikan itu, Matias mencoba mengingat-ingat sesuatu,  ikan mas, yang aku beli 2 tahun lalu, bagaimana mungkin? Matias hafal betul setiap peliaraan yang dibelinya, sejak pensiun dari pekerjaannya, ia menghabiskan waktunya untuk hewan-hewan peliharaan termasuk ikan, dengan ragu ia masukkan ikan itu kembali ke air, kini matanya beralih kerumah disamping kolam, langkah nya dipercepat, “Angelia!”, Matias kembali berteriak, kakinya terpaku di sebuah tangga, beranda dengan kursi dan meja bundar dari kayu jati disisi kiri, disebelah kanan ada kursi usang dengan sandaran kaki terbuat dari balok kayu jati dibawahnya, “rumahku?”, keheranan ia berucap. Kakinya mulai melangkah lagi, tangannya menyentuh meja bundar, tebal debu diatasnya membuat dia bersin. Dikibaskanya jari dengan debu yang menempel, kakinya beralih, matanya menyapu pemandangan di depan rumahnya, pohon asam besar tadi berdiri tegak di ujung kanan rumah, beberapa tanaman yang dikenalnya nampak sudah begitu tinggi, dan halaman penuh dengan daun-daun kering, Matias mendekati kursi usang yang sangat dikenalnya, jantungnya berdebar, dibelainya kursi yang seolah lama tidak didudukinya, diambilnya sandaran punggung dikursi tersebut, dikibasnya debu diatas kursi dengan bantal itu, ia siap untuk duduk ketika kemudian ia merasa tidak nyaman. Matias kembali berdiri, ada sesuatu yang mengganjal dibawah kursi, matanya melihat sebuah bantal batik tua, “bukan ini?” ia bergumam, diambilnya bantal itu, sebuah buku coklat tua dengan hiasan daun-daun kering sebagai sampulnya, ia begitu mengenal buku itu, buku yang menemaninya setelah kepergian istrinya, kecelakaan akibat kelalian Sophia, pikiran Matias berlari ke dua tahun yang lalu, diraihnya buku itu, di usapnya debu di sekitar lipatan halaman dengan tangannya, ia duduk kembali.

“Bagaimana keadaannya dok?”, nafas Sophia terburu matanya menemukan sosok dokter Antonius yang baru saja menelphonya.

“Ia koma, kami berusaha, Sebaiknya kamu berdoa Sophia, ada beberapa suster menunggumu di kapel rumah sakit, mereka akan berdoa untuk Matias”.

Begitulah dokter Antonius, Ia adalah kawan dekat sekaligus dokter keluarga Sophia, dan suster-suster biarawati yang saat ini menunggu Sophia adalah kawan-kawan paduan suara Angelia. Sophia terduduk kelu, tangan kokoh Anton menyentuh pundaknya, dan Sophia hanya mampu mengangguk.

Diusapnya sampul buku usang itu , kasar karena diatas sampul coklat tua itu ada beberapa tempelan daun-daun kering, tangan Matias membuka halaman pertama buku itu, sebuah foto wanita cantik di hias dengan tempelan-tempelan bunga mawar kering, Matias tersenyum, Angelia istri tercinta yang selalu cantik dimatanya, mereka menikah 30 tahun yang lalu, Matias mengenalnya dari seorang teman gereja yang memaksanya untuk ikut latihan paduan suara. Wanita yang kemudian begitu diagungkannya. Di kecupnya foto tua Angelia, tangannya lembut membelai, Matias tersenyum. Tangannya membuka halaman selanjutnya, sesekali ia memicingkan matanya, Karena tulisan dengan tinta tua di kertas yang sudah mulai lengket itu sulit sekali dibaca, beberapa halaman membuat Matias tidak bergeming, Angelia menulis tentang pertemuannya dengan lelaki yang dicintainya, laki-laki yang dengan lapang dada menerima keadaannya sebagai wanita mandul, air mata menetes lembut dari pipi Matias, tangannya meraih pembatas buku yang terbuat dari potongan kertas karton bekas kardus susu, dengan tulisan kecil melingkari sisinya

Untuk juwita ku yang gemar menulis, kardus susu Sophia bisa juga untuk pembatas buku kan? luv, Matias.

Matias tersenyum diusapnya pipinya yang basah, diambilnya nafas dalam-dalam, rangkaian cerita dalam buku harian inilah yang membantunya hidup selama dua tahun sejak kepergian Angelia, satu-satunya sosok yang dianggap mampu mengisi hidupnya. Matias beranjak, kakinya melangkah diraihnya buku itu, kakinya menuju pohon asam besar tadi, kemudian ia duduk di tempat ia melihat angelia duduk dengan gaun putihnya, disandarkanya tubuhnya di batang pohon asam itu, dipanjangkannya kakinya, matanya begitu tajam melihat beranda rumah yang dibangunnya 30 tahun lalu, ia mendesah.

Matias meraih buku coklat tua, dipangkunya buku itu, dibukanya beberapa halaman yang sudah dihafalnya diluar kepala setiap detil kata-katanya, jari-jarinya terdorong kebelakang, beberapa halaman akhir buku harian ini sudah lengket, Matias tidak menyadari itu, Ia pikir ia sudah menyelesaikan setiap halaman buku harian Angelia. Matanya menatap curiga,  “halaman yang lengket, bagaimana aku melewatinya?”, tanyanya dalam gumam. Diraihnya sebuah ranting kecil disampingnya, ada beberapa lubang kecil tercipta dari tumpukan halaman lengket itu, tangan Matias mencoba memasukkan ranting, semenit kemudian ia membuang ranting itu, kebesaran rupanya, tangan dan matanya meraba tanah disekitarnya, jari-jari tua itu mendapati sebuah ranting yang lain, kali ini Matias berhasil, beberapa halaman sudah terpisah tinggal dua lagi mungkin, tangannya dengan hati-hati menusukkan ranting disela-sela tumpukan buku usang itu, krek, lembar terakhir robek.

Senja di St. Corolous, tidak banyak orang berkunjung karena memang jam berkunjung sudah habis, di sebuah kapel kecil nampak beberapa biarawati dengan jubah hitam putihnya sedang terduduk sunyi hanya nampak bibirnya bergumam dan sesekali tangan mereka menyeka air mata di pipi.  “Jangan biarkan anak itu sendiri lagi Bapa, ia sangat mencintai ayahnya, perasaan bersalah yang menghukumnya akan semakin besar dan itu akan membunuhnya, Aku mohon keajaibanMu, namun hanya kehendakMu yang terjadi”, doa terakhir yang keluar dari bibir Elisabeth, biarawati sahabat dekat Angelia.

7 Mei 2002
Kami terlalu bersemangat hari itu, pagi-pagi sekali aku membangunkan Sophia. Dia nampak malas-malasan ketika aku menghampiri kamar dan mambangunkannya, dia masih kelelahan setelah sesorean kemarin mengantarku membeli baju tidur dan sebuah hadiah untuk Matias. Hari ini adalah ulang tahun Matias, aku dan Sophia akan mengejutkannya dengan pesta kecil dirumah ketika dia pulang dari kantor nanti, dan malamnya akan ada pesta lanjutan hanya untuk aku dan Matias tentunya. “Jam berapa bunda? Bukannya ini terlalu pagi, ayah sudah bangun?”, wajah cantik Sophia nampak kusut tertutup helain rambut yang acak-acakan.

“Sudah hayo bangun, Kita pergi setelah ayah pergi. Ingat jangan katakan apapun, kita perlu banyak waktu untuk memasak dan menghias rumah, hayo pemalas bangun”, aku lempar bantal putih yang jatuh ke lantai dan tepat mengenai punggung Sophia, kemudian dia tergelak membalas ku dengan bantal-bantal kecil yang dimilikinya, sesaat kami berguling dikasur , Matias kau tahu aku bersyukur kau mengijinkanku merawat anak ini, dia begitu cantik dan manis, setiap tingkahnya selalu membuatku bahagia, tak terasa sudah delapan belas tahun kita merawatnya, gadis kecil malang yang ditinggalkan orang tuanya di ST. Corolous.

——–

Matias menghela nafas, sebenarnya dia tidak mau mengambilnya, ia lebih bahagia hidup berdua saja dengan Angelia, namun kebisuan Angelia selalu membuatnya marah dan menyerah, kekuatiran yang kemudian menjadi kenyataan, kecemburuan konyol yang ia miliki sejak kehadiran Sophia, Angelia banyak menghabiskan waktu untuk bayi itu, entah kenapa Matias tidak menyukai kehadiran Sophia, baginya ide mengadopsi anak adalah ide yang buruk untuk mereka berdua. Angelia, seandainya kau mendengarkan aku, kau tidak akan pergi secepat itu, gadis bodoh itu telah membunuhmu, kecelakaan itu memisahkan kita. Mata Matias terpejam, rasanya tak kuasa ia melanjutkan halaman selajutnya namun ia harus melakukannya, ia tidak mau terus penasaran dibuatnya.

——

Matias sayang, aku tahu kau tidak setuju dengan keputusanku 18 tahun yang lalu, tapi lihatlah gadis ini, kau pasti akan mencintainya, dan kau tahu dia adalah aku saat aku tidak ada nanti.
Matias, hari ini aku bersemangat sekali, canda kita di meja makan pagi tadi semakin membuatku yakin, hari ini akan menjadi hari yang indah untuk kita bertiga. Kau tahu aku sudah telephon Antonius dan Elisabeth untuk mengundang semua teman dekat kita yang lain, kita akan adakan pesta kecil dirumah dengan masakan buatan aku dan Sophia, kemarin kami beli banyak resep, tapi untuk kue ulang tahun aku hanya memesannya, tidak apa-apa kan sayang? Kau tahu aku tidak pandai membuat roti.

—–
Matias, aku sangat bahagia hari ini perasaan yang berkecamuk setelah aku melihat mu bercanda dengan Sophia, entahlah seperti aku mendapatkan yang aku inginkan, setelah 18 tahun ini aku berusaha membuatmu mencintai Sophia lebih dari aku mencintai anak ini, aku inginkan itu karena aku ingin jika aku pergi lebih dulu kau akan bahagia hidup berdua dengannya, aku tidak tahu kenapa aku begitu yakin aku akan pergi lebih dulu, tapi itu bukan masalah kan? Kau masih memiliki Sophia.
Matias kami sudah siap pergi belanja, Sophia sangat cantik dengan rok biru polkadot yang kita belikan dulu, ia sudah menjadi gadis bukan? Awas kau harus menjaganya dengan baik!
Matias, hari ini aku akan minta Sophia menyetir untukku, aku mau jadi ratu, kan aku sedang bahagia, yah kau pasti marah mendengarnya, tapi kapan dia bisa membantu mu atau mengantarku kalau kita tidak membiarkanya terbiasa membawa mobil, toh ia sudah lulus kursus mengemudi, iya kan?

—–

Matias terkejut, ditutupnya buku coklat tua itu, sekelebat ia teringat kata-kata Sophia, “Aku tidak akan mau membawa nya, tapi bunda memaksaku”, hari itu pembelaan Sophia yang didengarnya sebagai sebuah karangan yang entah sejak saat itu tak mau dia pertanyakan lagi, baginya kehadiran Sophia sudah merampas semua hari nya bersama Angelia. Matias tergugu, matanya lemah menatap buku tua itu, 2 tahun sudah ia tidak bicara dengan Sophia.

Elisabeth mendapati Sophia terduduk di depan patung bunda maria didepan altar rumah sakit, “dia tidak mau hidup untukku suster?”, sebuah kalimat putus asa kemudian keluar dari bibir Sophia.

“Sophia, pernah kau tanya semua suster yang merawat ayahmu, kenapa suster-suster itu dipecat atau memutuskan untuk berhenti merawat ayahmu?, …dia sebenarnya sangat mencintaimu, hanya dia terlalu sombong mengakuinya, dia hanya ingin kau yang merawatnya, perbuatan-perbuatan konyol yang dibuatnya hanya untuk membawamu kembali kerumah dan merawatnya, kau tidak sadari itu?”, Elisabeth memapah Sophia masuk ke kapel, di bantunya gadis itu merapikan rambutnya yang tak beraturan lagi, “duduklah”, Elisabeth mengambil tas dari lengan Sophia, “berdoalah”.
“Suster, seandainya saja aku tidak terlalu bersemangat hari itu dan menuruti semua keinginan Bunda, pasti kami masih berkumpul bahagia hari ini, seandainya saja aku menuruti kata hatiku untuk tidak membawa mobil itu, tapi kami sangat bahagia pagi itu”, Sophia terisak dipeluknya Elisabenth, satu-satunya wanita tempatnya mengadu saat ini,

“Sudah berapa kali aku katakan, bukan kesalahanmu, kau tahu Bundamu sangat bahagia hari itu dan ia ingin melihat kau menjadi gadis dewasa yang membawanya pergi kemana ia mau, ia percaya denganmu, hari itu hanya kecelakaan Sophia, sudahlah, lupakan…Angelia akan sangat sedih kalau melihatmu begini”, tangan lembut Elisabeth menghapus air mata Sophia.

“tapi ayah sangat membenciku, ia menghukumku dengan tidak bicara denganku selama ini!”, suara Sophia sedikit meninggi terdengar putus asa.

“Sophia, ia tidak pernah merasakan kehilangan, ia terlalu mencintai Angelia, ibumu, ia tidak mampu menerima kenyataan, sesuatu yang akan dilihatnya dalam tidur akan mampu membawanya kembali, bersabarlah”.

“Maksud suster?”, kepala Sophia mendongak mencoba mendapati mata Elisabeth dan mencari tahu maksud kata-katanya.

“Dimana buku harian Angelia?” Sophie menggeleng, dia tidak tahu. “baiklah aku harus pergi sekarang, tenangkan hatimu disini, aku akan memanggilmu kalau ada kabar dari dokter Anotonius”, Elisabeth beranjak meninggalkannya sendiri.

Semilir angin menerpa lembaran-lembaran buku tua itu, Matias mengusap air mata dipipinya, sudah berapa lama ia terduduk di bawah pohon asam ini, pikirannya melayang mengenang seluruh hari-hari bahagia yang dilewatinya bersama Angelia juga Sophia, tiba-tiba ia tersentak, diraihnya buku tua itu, halaman yang sama masih nampak terbuka.

—-

Matias sayang, aku tahu kau tidak setuju dengan keputusanku 18 tahun yang lalu, tapi lihatlah gadis ini, kau pasti akan mencintainya, dan kau tahu dia adalah aku saat aku tidak ada nanti

Matias, aku sangat bahagia hari ini perasaan yang berkecamuk setelah aku melihat mu bercanda dengan Sophia, entahlah seperti aku mendapatkan yang aku inginkan, setelah 18 tahun ini aku berusaha membuatmu mencintai Sophia lebih dari aku mencintai anak ini, aku inginkan itu karena aku ingin jika aku pergi lebih dulu kau akan bahagia hidup berdua dengannya, aku tidak tahu kenapa aku begitu yakin aku akan pergi lebih dulu, tapi itu bukan masalah kan? Kau masih memiliki Sophia.

—-

Matias tersenyum, ia bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya, tiba-tiba angin bertiup, daun-daun kering tersapu bersamanya, sekejap kemudian mata Matias terasa sakit ia tidak mampu melihat dengan mata telanjang lagi, sinar disekitarnya sudah kembali menjadi terang seperti sebelumnya, dan ia mendengar lagi tawa ceria dari suara yang sangat dikenalnya “Sophia, Sophia,… Sophia”.

“Sophia, Sophia,… Sophia”.
Antonius nampak sibuk memeriksa nadi Matias, kemudian dengan sigap dimintanya Elisabeth untuk memanggil Sophia.

“Aku disini ayah?”, dikecupnya tangan Matias mata Sophia yang sembab terlihat bahagia kini, akhirnya, setelah dua tahun, ayahnya memanggil namanya. Sophia mengusap airmata yang mengalir di pipi Matias, “Ayah, bagaimana keadaanmu?”, Sophia mencoba membuka percakapan ketika dilihatnya mata Matias terbuka perlahan, “aku disini ayah, kau inginkan sesuatu?”,Matias menatap lekat garis wajah cantik disampingnya, Ia memang bukan anak kandung nya namun ia memiliki garis kecantikan yang sama dengan bundanya, tangan tuanya meraih jemari Sophia, matanya terpejam dalam hening itu ia melihat Angelia tersenyum.

Sophia menangis ia tak kuasa menahan bahagia, genggaman tangan ayah yang sangat dirindukannya. “A A A ku…”,terbata-bata Matias mencoba merangkai kata, namun Sophia tahu apa yang akan dikatakannya, jemari Sophia menyentuh pipi sang ayah, “sudahlah, istirahatlah, kita bicarakan nanti, dikecupnya dahi Matias, “kami semua yang dirumah merindukan sentuhan tanganmu lagi, ingat ikan mas yang kau beli dulu?…cepat sembuh yah, Aku mencintai mu ayah”.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *